Minggu, 25 Oktober 2009

PRINSIP PERJUANGAN MUSLIM



تأليف الشيخ الشهيد
يوسف بن صالح العييري
Segala puji bagi Alloh, Dzat Yang telah mensyariatkan ajaran yang lurus bagi kita semua dan memberikan petunjuk kepada kita jalan yang lurus. Semoga sholawat dan salam tercurah selalu kepada pengajar seluruh makhluk, makhluk terbaik, pemuka anak Adam, semoga sholawat terbaik dan salam paling sempurna tercurahkan selalu kepada beliau, kepada keluarga serta para shahabat beliau seluruhnya.
wa ba`d...
Tidak bisa dipungkiri, setiap metode memiliki perkara-perkara prinsip yang tak bisa dilanggar serta point-point yang elastis, bisa berubah-ubah sesuai kondisi. Perkara yang prinsip tidak boleh berubah atau terganggu dengan berubahnya zaman, tempat atau tokoh. Rasa mantab dan yakin terhadap perkara ini karena tersandarkan kepada nash-nash yang baku dan pengetahuan yang tidak perlu diragukan keabsahannya, sehingga tidak mungkin ia akan terganti atau berubah, maka perkara-perkara prinsip ini tak ubahnya menjadi seperti gunung yang menjulang, memiliki mercusuar-mercusuar yang sangat terang sehingga setiap orang yang menempuh jalan bisa menjadikannya sebagai lentera petunjuk.
Sebaliknya dengan hal-hal yang elastis, merupakan perkara kasuistik yang muncul di antara perkara-perkara baku, hal-hal elastis ini hanya bersifat cabang, bukan prinsip. Bisa berubah-ubah sesuai perubahan zaman, tempat dan generasi. Ia memiliki kaidah-kaidah syar`i bersifat umum. Perinciannya disesuaikan mengikuti ilmu-ilmu pengantar yang ditetapkan para mujtahid dengan landasan dalil-dalil, perkara ini bisa saja didiskusikan dan didialogkan.
Yang kami anggap penting di sini dan dewasa ini khususnya, adalah menjelaskan perkara-perkara prinsip yang ditetapkan nash-nash syar`i dalam urusan jihad. Perkara-perkara prinsip ini pada hari ini sangat-sangat perlu untuk kita aktualkan, kita publikasikan serta kita pahami kembali. Hari ini, kita, dan dalam kondisi umat yang dilanda luka sangat mendalam, perlu untuk kembali kepada perkara-perkara kita yang bersifat prinsip di mana orang-orang yang suka melemahkan semangat kaum muslimin mulai memperbincangkannya kembali kemudian menambah-nambahinya dengan tujuan mengaburkan anggapan bahwa perkara-perkara yang justru bersifat elastis, jadi sebaiknya kita tidak usah menjalankan perkara-perkara prinsip itu secara serius. Nah, di hadapan pembaca --yang kami cintai karena Alloh-- akan kami ke tengahkan beberapa perkara prinsip, bukan semuanya, yang menggambarkan kepada kita bagaimana jihad itu harus ditempuh.
Tujuan kami menulis perkara-perkara prinsip ini adalah membebaskan manhaj jihad dari berbagai belenggu yang terikat padanya secara dzalim dan jahat. Manhaj jihad sendiri hari ini menghadapi berbagai propaganda yang coba menghancurkannya, atau membatasi dan mengikatnya tanpa landasan dalil syar`i. Barangkali propaganda itu muncul disebabkan cara memahami yang tidak tepat diikuti penerapan yang tidak pas oleh orang yang menyerukan propaganda tersebut. Salah satu penghalang di jalan jihad adalah sikap merasa pandai yang ditampilkan mereka yang mengaku dirinya orang fakih dengan menetapkan harus ada syarat-syarat begini dan begitu sebelum melaksanakan jihad versi dia, padahal tidak ada seorang ulama Islampun sebelumnya yang mensyaratkan. Penghalang lain, munculnya orang-orang Islam sendiri yang melemahkan semangat kaum muslimin lain dengan senantiasa 'bernyanyi' di forum-forum pertemuan menyatakan bahwa jihad tidak relevan lagi di zaman sekarang. Sedangkan penghalang utama dari jihad adalah persekongkolan salibis yang sudah memulai genderang perangnya melawan syiar jihad, sebab jihad ini mengancam kepentingan-kepentingan penjajah Amerika di negeri-negeri kaum muslimin.
Mempublikasikan kembali perkara-perkara prinsip dalam jihad dengan izin Alloh akan bisa memberikan jaminan untuk meluruskan pemahaman tentang jihad dan membersihkan penghalang-penghalang yang dzalim dan jahat yang masih ada di atas jalan jihad. Setelah meluruskan pemahaman, barulah bisa kita ikat syiar jihad ini dari sisi ruhiyah (moralitas), kemudian dari sisi pemikiran, kemudian dari sisi manhaj, terakhir dari sisi praktek riil. Menghidupkan syiar jihad memerlukan usaha keras untuk menerangkan dan menjelaskan kepada orang. Penjelasan di sini bukan semata penjelasan terbatas kepada pengetahuan fikih saja yang jauh dari penerapan nyata meskipun keterangan seperti ini juga dituntut agar orang faham, namun di sana diperlukan manhaj (metode) yang menghantarkan fikih dan ibadah jihad tadi kepada realita dalam kehidupan nyata seperti yang dilakukan Nabi SAW dan para shahabatnya --Radhiyallohu `Anhum--.
Sebagai contoh membebaskan sebuah ibadah dari belenggu-belenggu ikatan --sekedar untuk memperjelas-- misalnya sholat. Alloh mensyariatkannya kepada orang-orang sebelum kita, tetapi Alloh mengikat pelaksanaan ibadah ini dengan tempat-tempat tertentu, seperti harus dilakukan di biara, gereja-gereja dan tempat ibadah lain. Ketika Alloh syariatkan sholat kepada umat Muhammad SAW, Alloh bebaskan ibadah sholat ini dari ikatan tempat, maka Alloh memberikan kepada Nabi SAW apa yang tidak Dia berikan kepada nabi sebelum beliau, yaitu seperti yang tercantum dalam Shohih Bukhori Muslim bahwasanya Rosululloh SAW bersabda --dalam riwayat dari Jabir--, "Dan tanah dijadikan masjid dan suci bagiku, maka di mana saja seseorang dari umatku masuk waktu sholat, hendaknya ia sholat," Jadilah tanah itu semuanya bisa untuk sholat kecuali tujuh tempat dari bumi yang dikecualikan berdasarkan nash-nash lain, itupan dalam kalau dalam kondisi lapang, bukan terpaksa. Membebaskan ibadah ini dari belenggu ikatan tadi sangatlah mudah dilaksanakan setiap hamba. Perlu diketahui, peletakan dan penghapusan ikatan seperti ini merupakan syariat dari Alloh SWT karena adanya sebuah hikmah yang diketahui-Nya.
Sekarang, dalam menjelaskan prinsip-prinsip baku dalam jihad, kami mencoba menghilangkan belenggu-belenggu tak bertanggung jawab, buruk dan jahat yang disematkan sampah-sampah berujud manusia dan mereka konfrontasikan secara antagonis dengan nash-nash syar`i yang sudah jelas kesahihan dan maksud isinya. Ada di antara mereka kita dengar mengatakan bahwa melawan arus kebudayaan-kebudayaan sama artinya dengan kehancuran dan keterpurukan dan Islam berlepas diri dari itu, kita harus melakukan adaptasi dengan kebudayaan, kita perlu perdamaian dan membuang jauh-jauh aksi-aksi kekerasan serta perlawanan bersenjata (baca: jihad).
Kita juga saksikan, tak terhitung lagi orang-orang yang bergabung dalam muktamar-muktamar yang bertujuan untuk memerangi syiar jihad atau memberangusnya dengan mengatas namakan sikap toleransi, moderat, pendekatan antar agama secara dialog. Sungguh jauh sekali jarak antara sikap restu dari orang-orang yang mengaku Islam ini dengan persekongkolan salibis yang sudah sangat-sangat jelas memulai serangan agresifnya terhadap jihad dan mujahidin.
Kita juga melihat diri kita sedang berhadapan dengan orang-orang Islam dalam jumlah besar yang mengamini muktamar-muktamar dan pertemuan-pertemuan yang diadakan dalam rangka memerangi jihad, baik dengan mengganti labelnya dengan nama perang melawan kekerasan maupun melawan terorisme.
Maka dalam rangka meneruskan keterangan rambu-rambu jihad yang bersifat prinsip serta dalam rangka menangkal statemen-statemen yang hendak menggulingkan jihad di sana sini, terlebih dahulu kita bahas dua prinsip dari sekian prinsip baku jihad. Dengan memahami kedua prinsip ini, sebagian ketidak adilan dalam menilai jihad akan hilang.
Prinsip baku pertama:
Jihad akan terus berlangsung (ada) hingga hari kiamat.
Hari ini, seluruh dunia --kecuali yang dirahmati Alloh-- berdiri satu barisan dengan kekuatan keyakinannya, politiknya, ekonominya, informasinya, teknologi dan nasionalismenya, dengan segala kekuatannya, di hadapan salah satu syiar agama kita yang hanif (lurus), yaitu syiar jihad fi sabilillah. Sebuah syiar yang Alloh wajibkan kepada kita dengan firman-Nya:
"Diwajibkan atas kalian berperang, padahal perang itu kalian benci; bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal itu lebih baik bagi kalian, dan bisa jadi kalian menyukai sesuatu padahal itu buruk bagi kalian. Dan Alloh Maha tahu sedangkan kalian tidaklah mengetahui."
dan dengan firman-Nya:
"Wahai Nabi, jihadlah melawan orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah kepada mereka, tempat tinggal mereka adalah jahannam, dan sungguh itu sejelek-jelek tempat kembali."
dan firman-Nya:
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir, tidak mengharamkan apa yang Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak menganut agama yang benar (Islam) dari kalangan ahli kitab, sampai mereka membayar jizyah dari tangan sementara mereka dalam keadaan hina."
dalam ayat terakhir yang turun tentang jihad, Alloh berfirman menegaskan kewajiban ini:
"Jika telah habis bulan-bulan haram, perangilah orang-orang musyrik di manapun kalian jumpai, tawanlah dan kepunglah mereka serta intailah dari tempat-tempat pengintaian. Jika mereka taubat dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat, bebaskanlah mereka, sesungguhnya Alloh Mahapengampun lagi Mahapenyayang."
Syiar jihad ini, orang-orang kafir berusaha menghapusnya dan memberikan label kepadanya dengan label terorisme dan kejahatan, serta menjuluki para pelakunya sebagai teroris, orang-orang ekstrim, fundamental dan radikal. Ditambah lagi, orang-orang munafik ikut membantu mereka dengan menjelekkan dan menghalang-halanginya dengan cara-cara syetan, ada yang mengatakan jihad dalam Islam hanya bersifat membela diri (defensive), tidak ada jihad ofensiv (menyerang terlebih dahulu). Ada juga yang mengatakan bahwa jihad disyariatkan hanya untuk membebaskan negeri terjajah. Ada juga yang mengatakan bahwa jihad menjadi wajib kalau sudah ada perintah dari penguasa --padahal penguasa itu menjadi antek yahudi dan salibis--. Sekali waktu ada yang mengatakan bahwa jihad sudah tidak relevan untuk zaman kita sekarang, zaman kedamaian dan undang-undang baru internasional, Na`udzubillah min dzalik, kita berlindung kepada Alloh dari kesesatan-kesesatan ini.
Alasan, dorongan, istilah-istilah munafik dan kufur berupa apapun yang bertujuan menghapus panji jihad, maka kalau dirunut ujungnya adalah bahwa jalan jihad ini --sejak zaman Rosul SAW-- sudah jelas bagi umat Islam, rambu-rambunya sudah ditetapkan, pemahaman dan fikihnya sudah jelas, kita tidak perlu lagi menambahkan pemahaman-pemahaman baru dari jihad yang diselewengkan oleh siapapun, baik di belahan bumi timur maupun barat. Khazanah kita sudah terlalu cukup untuk ditambahi yang lain, dari sanalah kita menimba rukun, syarat, kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan dan sunnah-sunnah dalam jihad, kita juga mengambil pilar-pilar pensyariatan jihad dari sumber tersebut.
Lebih dari itu, Alloh dan rosul-Nya SAW telah mengkhabarkan bahwa jihad akan terus berlangsung sampai nanti Alloh wariskan bumi dan penduduknya kepada orang-orang sholeh. Khabar dari Alloh dan rosul-Nya ini termasuk perkara baku yang tidak kami ragukan lagi dan tidak akan kami tanyakan kepada siapapun setelah Alloh dan rosul-Nya SAW menegaskan hakikat ini. Dalil-dalil yang menunjukkan hal ini dari Al-Quran dan Sunnah sangatlah banyak. Seperti firman Alloh Ta`ala: "Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian murtad dari agamanya, Alloh akan datangkan satu kaum yang Dia cintai dan merekapun mencintai-Nya, lembut terhadap orang beriman dan keras terhadap orang kafir, mereka berjihad di jalan Alloh dan tidak takut celaan orang yang mencela. Itulah anugerah yang Alloh berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Dan Alloh Mahaluas lagi Mahamengetahui." Firman Alloh: "...mereka berjihad..." menunjukkan adanya kesinambungan jihad, konteks ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja meninggalkan sifat-sifat dalam ayat ini, Alloh akan datangkan kaum lain yang Alloh cintai dan merekapun mencintai Alloh, mereka yang akan menyandang sifat-sifat tadi.
Alloh juga berfirman: "Dan perangilah mereka hingga tidak ada lagi fitnah dan agama seluruhnya menjadi milik Alloh, jika mereka berhenti maka sesungguhnya Alloh Mahamengetahui apa yang mereka kerjakan." Makna fitnah di sini adalah kekufuran, jadi perang akan terus berlangsung sampai tidak ada lagi kekufuran. Para ulama mengatakan: Kekufuran di muka bumi tidak akan pernah habis kecuali di zaman Nabi Isa turun di akhir zaman, di saat beliau menghapus jizyah dan mematahkan salib serta membunuh babi, beliau hanya menerima Islam. Kemudian Alloh wafatkan beliau beserta orang-orang beriman yang mengikuti beliau, saat itulah tidak ada di muka bumi yang mengucapkan "Alloh, Alloh," maka kiamatpun terjadi menimpa makhluk paling jahat saat itu.
Lebih menegaskan bahwa jihad ini akan terus berlangsung, Alloh Ta`ala berfirman dalam ayat jihad yang terakhir turun, yaitu ayatus Saif (ayat pedang): "Jika telah habis bulan-bulan haram, perangilah orang-orang musyrik di manapun kalian jumpai, tawanlah dan kepunglah mereka serta intailah dari tempat-tempat pengintaian. Jika mereka taubat dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat, bebaskanlah mereka, sesungguhnya Alloh Mahapengampun lagi Mahapenyayang."
Dalam Al-Quran, ayat yang menunjukkan terus adanya jihad sangatlah banyak.
Adapun dalil terus berlangsungnya jihad dalam As-Sunnah, lebih banyak lagi. Di antarnya adalah sabda Rosul SAW sebagaimana diriwayatkan Al-Jama`ah serta yang lain, dari Urwah Al-Bariqi ra ia berkata, Rosululloh SAW bersabda, "Akan senantiasa tertambat kebaikan pada jambul kuda hingga hari kiamat, yaitu pahala dan ghanimah."
Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari ketika Bukhori menjadikan hadits ini sebagai dalil akan terus berlangsungnya jihad baik bersama orang jahat ataupun orang baik, "Sebelumnya, Imam Ahmad sudah terlebih dahulu menjadikan hadits ini sebagai dalil, sebab Nabi SAW menyebutkan terus adanya kebaikan pada jambul kuda hingga hari kiamat, kemudian beliau tafsirkan kebaikan itu dengan pahala dan ghanimah, sedangkan ghanimah yang disejajarkan dengan pahala pada kuda hanya terjadi ketika ada jihad. Hadits ini juga berisi anjuran berperang dengan menggunakan kuda, juga berisi kabar gembira akan tetap bertahannya Islam serta pemeluknya hingga hari kiamat, sebab ada jihad berarti ada mujahidin, mujahidin sendiri adalah orang-orang Islam. Hadits ini senada dengan hadits yang berbunyi: "Akan senantiasa ada satu kelompok umatku yang berperang di atas kebenaran." Al-Hadits." Sampai di sini perkataan Ibnu Hajar secara ringkas.
An-Nawawi berkata dalam Syarah Shohih Muslim-nya ketika mengomentari hadits ini, "Sabda Rosululloh SAW: "Akan senantiasa tertambat kebaikan pada jambul kuda hingga hari kiamat," ditafsirkan oleh hadits lain dalam hadits shohih: "Kebaikan itu adalah pahala dan ghanimah." Hadits ini menunjukkan bahwa Islam dan jihad akan tetap eksis hingga hari kiamat, maksud hingga hari kiamat adalah hingga sesaat sebelum kiamat terjadi, yakni ketika datang angin harum dari Yaman yang mencabut nyawa setiap mukmin laki maupun perempuan, sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits shohih." Sampai di sini perkataan An-Nawawi.
Dalam hadits riwayat Abu Dawud dan yang lain dari Anas bin Malik ra ia berkata, Rosululloh SAW bersabda, "Jihad akan tetap berjalan sejak Alloh mengutusku hingga umatku yang terakhir memerangi Dajjal, ia tidak akan dihentikan oleh kejahatan orang jahat ataupaun keadilan orang adil."
Menerangkan hadits ini, penulis kitab `Aunul Ma`bud (Syarah Sunan Abu Dawud) mengatakan: "Jihad akan tetap berjalan sejak Alloh mengutusku," Maksudnya sejak dimulainya era di mana aku diutus, "hingga umatku yang terakhir memerangi" maksudnya adalah Nabi Isa atau Al-Mahdi, "... memerangi Dajjal..." konteksnya di sini sebagai kata obyek. Setelah Dajjal terbunuh, selesailah sudah jihad. Mengenai peristiwa Ya'juj dan Ma'juj, jihad tidak dilakukan karena tidak mungkin bisa melawan mereka, dalam kondisi seperti ini jihad tidak wajib atas kaum muslimin berdasarkan nash ayat surat Al-Anfal. Adapun setelah Alloh binasakan Ya`juj dan Ma`juj, tidak ada lagi orang kafir di muka bumi selama Nabi Isa masih hidup di bumi. Adapun orang yang kembali kafir setelah kematian Nabi Isa AS, mereka tidak diperangi karena baru saja kaum muslimin seluruhnya diwafatkan dengan hembusan angin harum dan adanya orang-orang kafir hingga hari kiamat. Inilah pendapat Al-Qoriy. Al-Munziri tidak mengomentari hadits ini." Selesai perkataan beliau.
Sebagai dalil akan terus berlangsungnya jihad, Nabi SAW juga bersabda dalam Shohih Bukhori Muslim serta kitab hadits lain, redaksinya milik Muslim, dari Jabir ra: "Akan selalu ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka menang, hingga hari kiamat tiba." Dalam lafadz Bukhori disebutkan: "Tidak akan terpengaruh oleh orang yang melemahkan semangat dan menyelisihi mereka." dalam lafadz Imam Ahmad: "Mereka tidak mempedulikan orang yang menyelisihi dan melemahkan semangat mereka."
Sabda beliau: "Akan senantiasa ada..." menjadi dalil akan tetap berlangsungnya jihad meskipun konteks hadits ini sudah cukup untuk menetapkan bahwa jihad akan tetap berlangsung. An-Nawawi berkata dalam Syarah Shohih Muslim-nya: "Saya katakan: Kemungkinan satu kelompok ini terpisah-pisah dalam sekian banyak jenis kaum muslimin, di antara mereka ada yang pemberani sebagai pelaku perang, ada juga yang ahli fikih, ahli hadits, orang-orang zuhud, orang yang beramar makruf nahi munkar, ada juga pelaku kebaikan lain, tidak mesti mereka berkumpul menjadi satu, bisa saja mereka berpencar-pencar di berbagai belahan dunia. Hadits ini berisi sebuah mukjizat nyata, karena karakter seperti ini alhamdulillah selalu ada sejak zaman Nabi SAW hingga sekarang, dan akan selalu ada hingga tiba ketetapan Alloh sebagaimana disebutkan dalam hadits ini." Selesai perkataan An-Nawawi.
Dalil yang lain adalah sabda Nabi SAW, "Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang hak) selain Alloh dan bahwa Muhammad utusan Alloh, mereka menegakkan sholat dan menunaikan zakat, jika mereka lakukan itu, darah dan harta mereka terlindungi dariku kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka diserahkan kepada Alloh."
Dalam hadits ini, beliau menjadikan tujuan akhir peperangan adalah Islam, jika semua manusia sudah Islam maka tidak lagi ada perang. Di sisi lain, banyak sekali hadits yang menunjukkan bahwa tidak mungkin seluruh manusia akan menjadi Islam serta menunjukkan bahwa kekufuran akan ada saja hingga hari kiamat. Jika demikian, berarti perang akan selalu ada bersama adanya kekufuran sampai tiba ketetapan Alloh Ta`ala, sedangkan maksud ketetapan Alloh dalam hadits ini, ada yang mengatakan masuk Islamnya manusia di zaman Nabi Isa, ada juga yang berpendapat hari kiamat, ada yang mengatakan berhembusnya angin yang mencabut nyawa kaum mukminin, hanya saja makna yang ditunjukkan hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa perang akan selalu ada selama kekufuran ada.
Nash-nash lain yang menunjukkan bahwa jihad akan terus berlangsung hampir tak terhitung, para imam Islampun sepakat dan tidak ada yang berbeda pendapat bahwa jihad akan terus berlangsung. Rosul SAW sendiri mengkhabarkan hal ini sebagai sebuah berita yang tidak akan pernah berubah dan berganti. Semua nash ini menjelaskan bahwa tidak akan pernah mungkin satu zaman berlalu sejak diutusnya Nabi SAW hingga hari kiamat kosong dari panji jihad membela kebenaran yang diangkat di jalan Alloh Ta`ala, ini adalah pengkhabaran yang pemungkirnya bisa kufur kepada Alloh Ta`ala.
Jika kita meyakini hakikat ini, kita jadikan ia sebagai bagian terpenting hidup kita, dan kita asumsikan sebagai salah satu prinsip baku yang kita konsentrasikan kehidupan kita ke arahnya, maka tidak akan mungkin kita akan mau tertinggal dalam memberikan andil kepada panji jihad dan berdiri di bawahnya walau bagaimanapun susahnya kondisi. Karena panji jihad di zaman kapanpun selalu terkait dengan Thoifah Manshuroh (kelompok yang ditolong) yang diridhoi Alloh. Thoifah manshuroh sendiri --sebagaimana dikatakan An-Nawawi-- tidak mesti harus ada di satu tempat, bisa saja dalam satu zaman kelompok ini berada di berbagai tempat. Thoifah manshuroh ini berperang di atas kebenaran dan mereka menang, era kapanpun tidak akan pernah kosong dari Thoifah manshuroh yang berperang dan mengangkat panji jihad.
Jika kita meyakini akidah ini, kita bisa pastikan bahwa kekuatan kufur dunia dan negara-negara munafik yang turut membantu mereka sampai kapanpun tidak akan pernah mampu memadamkan panji jihad, tidak akan mampu menumpas para mujahidin atau menghapus syiar jihad ini. Mungkin mereka bisa mengisolasinya di satu atau dua tempat, tapi untuk merontokkannya di zaman sekarang, itu hal yang mustahil walaupun seluruh jin dan manusia berkumpul untuk melakukannya. Karena panji jihad ini diangkat atas ketetapan dan izin Alloh Ta`ala serta tidak mungkin akan diletakkan karena Alloh sendirilah yang menetapkan bagi diri-Nya sendiri untuk meninggikan panji ini sampai umat terakhir Muhammad SAW memerangi Dajjal bersama Isa bin Maryam AS. Inilah hakikat yang mesti kita jadikan titik tolak pertama, inilah keyakinan yang sudah semestinya kita memerangi musuh berdasarkan keyakinan ini. Akidah yakin dan percaya penuh dengan janji Alloh SWT bahwa jihad akan tetap berjalan hingga hari kiamat.
Keputus asaan kaum muslimin hari ini setelah peristiwa mundurnya mujahidin dari kota-kota di Afghanistan tidak akan pernah berarti mengindikasikan keputus asaan dan mandeknya mujahidin, mereka tetap yakin bahwa jihad ini akan terus berlangsung hingga hari kiamat, kondisi mayoritas kaum muslimin juga tidak akan selamanya berarti bahwa kekuatan kufur internasional mampu merontokkan panji jihad di dunia. Sayang, kebanyakan kaum muslimin tidak memahami hakikat permusuhan antara kebenaran dan kebatilan, tidak membaca sejarah umat, sejarah para nabi, khususnya dalam Al-Qur'an.
Seluruh dunia menentang janji Alloh bahwa jihad ini akan tetap berlangsung, sementara kami tetap percaya kepada Alloh dan kami bersumpah bahwa kekuatan kufur dunia yang memerangi Alloh SWT akan kalah. Undang-undang baru internasional berdiri di atas pemahaman yang sudah ditentukan, slogannya sangat jelas; pemahaman itu adalah jihad adalah terorisme, semua mujahid adalah teroris, para teroris harus ditangkap dan terorisme harus dibasmi; maknanya, para wali Alloh itu harus ditangkap dan syariat Alloh SWT harus dilenyapkan. Maka, hasil akhir peperangan seperti ini sudah bisa ditebak, dulu Alloh sudah menceritakan itu dalam kitab-Nya, Rosululloh SAW sudah menerangkannya dalam sunnahnya. Rosululloh SAW bersabda --sebagaimana diriwayatkan Bukhori, Ahmad dan yang lain, dari Abu Huroiroh ra--, "Alloh berfirman: Barangsiapa memusuhi wali-Ku, Aku maklumkan perang dengannya..." artinya, Ku maklumkan bahwa ia pasti hancur, perang Alloh adalah melawan siapa saja yang memusuhi wali-Nya lantaran mereka setia kepada Alloh dan menganggap para wali itu sebagai musuh lantaran komitmen mereka di atas agamanya. Dalam redaksi lain disebutkan: "Adzantuhu bil Harbi..." (Aku umumkan perang kepadanya), bentuknya nakiroh, artinya perang itu mencakup semua jenis hukuman. Dalam riwayat Ahmad: "Barangsiapa menyakiti wali-Ku..." Jadi, hanya menyakiti saja sudah berarti perang. Dalam riwayat lain: "...sungguh ia telah menghalalkan perang melawan-Ku." Hukuman ini tidak selalunya nampak seperti yang menimpa umat-umat lain, tapi bisa juga hukuman itu disegerakan, bisa juga ditunda, Allohlah yang berhak menunda, tapi Dia tidak pernah mengabaikannya.
Adapun hasil akhir dari perang ini, Alloh telah mengisahkannya dalam Al-Quran, kita ambil misalnya firman Alloh Ta`ala: "Sesungguhnya Kami pasti menolong (memenangkan) para rosul Kami dan orang-orang beriman di dunia dan di hari ketika saksi-saksi datang."
Alloh juga berfirman menegaskan bahwa musuh orang-orang beriman pasti kalah: "Sesungguhnya orang-orang kafir menginfakkan harta mereka untuk memalingkan dari jalan Alloh, maka mereka akan menginfakkannya kemudian akan menjadi penyesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan, dan orang-orang kafir itu akan dikumpulkan di neraka Jahannam."
Alloh mengajak kita untuk mengambil pelajaran dari kejadian pada saat perang Badar, pada Yaumul Furqon (hari pembedaan antara yang hak dan batil): "Sungguh telah ada tanda-tanda kebesaran Alloh bagi kalian pada dua kelompok yang bertemu dalam perang; satu kelompok berperang di jalan Alloh, sementara kelompok yang lain kufur, mereka melihat orang beriman dua kali lipat dari mereka jika dilihat mata. Dan Alloh menguatkan dengan pertolongan-Nya kepada siapa saja yang Ia kehendaki, sesungguhnya pada yang demikian terdapat pelajaran bagi mereka yang berpandangan jeli."
Yang menjadi pertanyaan yang selalu mengusik hati dan menyusup ke hati orang-orang lemah adalah: Mengapa Alloh tidak menolong Pemerintahan Islam Taliban dalam perangnya melawan pasukan sekutu hingga hari ini? padahal Pemerintahan itulah yang mampu mengangkat syiar penerapan syariat Islam dan memegang teguh Al-Quran dan Sunnah, seluruh dunia bersatu menyerangnya sampai-sampai Taliban dipaksa mundur dari kota-kota yang mereka kuasai, mengapakah ini terjadi?
Kami katakan, Alloh memiliki hikmah mengapa itu terjadi, hikmah pertama diterangkan dalam firman Alloh Ta`ala: "Yang demikian itu, kalau Alloh berkehendak pasti akan menangkan mereka atas orang-orang kafir, akan tetapi untuk menguji sebagian atas sebagian yang lain, dan orang-orang yang terbunuh di jalan Alloh, maka amalan mereka tidak akan pernah disia-siakan."
Bisa saja Alloh memenangkan Taliban atas mereka (bahkan Ia sangat Mahakuasa) sendirian, bisa saja Alloh mematikan dan meluluh lantakkan seluruh kekuatan mereka sekejap mata, akan tetapi Alloh membiarkan orang-orang kafir itu menguasai kaum muslimin untuk memberikan ujian,artinya untuk menguji kaum muslimin dan mencoba kejujuran mereka meskipun orang-orang kafir berkuasa atas mereka, jika mereka sabar dan semakin berpegang teguh dengan agama mereka serta lari dan mengadukan perkaranya kepada Alloh Ta`ala, maka Alloh akan menolong mereka setelah melihat bahwa mereka memang layak memperoleh kemenangan, Alloh akan mantabkan kekuasaan agama yang Dia ridhoi bagi mereka (Islam), tentunya setelah mereka memenuhi syarat-syarat tercapainya kekuasaan di muka bumi. Alloh Ta`ala berfirman: "Alloh berjanji kepada orang-orang beriman dari kalian, pasti Ia kuasakan mereka di muka bumi sebagaimana orang-orang sebelum mereka dikuasakan, dan akan memantabkan posisi agama mereka yang Alloh ridhoi bagi mereka dan akan menggantikan keadaan takut mereka dengan keamanan, mereka beribadah kepada-Ku dan tidak mensekutukan dengan apapun terhadap-Ku, dan barangsiapa kufur setelah itu, maka mereka adalah orang-orang fasik."
Dan berfirman: "Musa berkata kepada kaumnya: 'Minta tolonglah kalian kepada Alloh dan bersabarlah, sesungguhnya bumi ini adalah milik Alloh, Alloh mewariskannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari para hamba-Nya, dan hasil akhir adalah milik orang-orang bertakwa."
Dan berfirman: "Dan telah Kami tetapkan dalam Zabur bahwa bumi ini akan diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang sholeh."
Dan berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan tuhan kami adalah Alloh kemudian mereka istiqomah, malaikat turun kepada mereka: Janganlah kalian takut dan sedih dan bergembiralah dengan surga yang dijanjikan kepada kalian. Kami adalah pelindung kalian di kehidupan dunia dan akhirat, di sana kalian mendapatkan apa saja yang kalian inginkan dan di sana terdapat apa yang kalian minta."
Jadi, syarat dimantabkannya posisi di muka bumi harus terpenuhi dahulu dalam diri kaum mukminin sebelum kemantaban posisi itu tercapai. Sebagian syarat itu telah Alloh sebutkan dalam ayat-ayat tadi, di antaranya adalah iman dan amal sholeh, mengikuti manhaj Nabi SAW dan para shahabat beliau yang telah terlebih dahulu berkuasa di muka bumi, meyakini ajaran agama yang benar (Islam), tidak menyekutukan Alloh, meminta tolong hanya kepada Alloh, sabar di atas jalan jihad dan perang melawan musuh, bertakwa kepada Alloh dalam kondisi sendirian atau dilihat orang, kesalehan secara menyeluruh di semua lapisan, karakter seorang mujahid hendaknya senantiasa mengatakan tuhanku adalah Alloh sekaligus mengamalkan konsekwensi kata-kata tersebut, ia harus konsisten (istiqomah) di atas ajaran agamanya. Inilah syarattt-syarat yang apabila seorang hamba bersungguh-sungguh merealisasikannya, ia akan menjadi orang yang berhak diberi kemenangan oleh Alloh dan Alloh akan kuasakan dia di muka bumi.
Kalau kita mau meneliti hikmah mengapa Alloh menunda kemenangan dan mendatangkan kekalahan --secara kasat mata-- kepada kaum muslimin di medan pertempuran, pasti kita mau tidak mau harus menilai hal itu dengan adil. Hanya, kita akan sendirikan pembahasan tentang hal itu, setelah ini nanti dengan izin Alloh, di sini cukup kita isyaratkan secara sepintas mengingat pemahaman seperti ini tidak boleh hilang dari benak setiap muslim yang hidup hari ini di mana ia selalu mengikuti perkembangan dari medan pertempuran di Afghanistan dengan segala perasaan dan eksistensinya, peperangan antara kekuatan kufur internasional seluruhnya melawan mujahidin Afghan.
Kita mohon kepada Alloh agar memuliakan mujahidin dan menolong mereka serta menjadikan mereka berkuasa. Semoga Alloh memecah belah dan mencerai beraikan orang-orang kafir, menghinakan dan menjadikan mereka sebagai ghanimah bagi kaum muslimin.

PRINSIP BAKU KEDUA: JIHAD TIDAK BERGANTUNG DENGAN TOKOH.
Pemandangan sehari-hari yang kita saksikan zaman sekarang, umat Islam mengenggantungkan permasalahan jihad dengan orang atau tokoh tertentu. Barangkali mereka tidak mengatakannya secara langsung, mungkin hanya terlihat dari sikapnya. Sebagai bukti, tak sedikit kaum muslimin akan mengatakan kepada Anda: "Agama Islam ini adalah agama Alloh, jika orang yang berkhidmad kepadanya meninggal Alloh akan ciptakan makhluk lain yang menjadi pelayan agama Islam yang akan membelanya." Sayangnya, ketika tiba giliran untuk merealisasikan kata-katanya ini dalam praktek nyata, kita tidak akan jumpai langkah kongkret dan berarti dari manhaj ini dalam kehidupan.
Siapa yang mau memperhatikan kondisi umat Islam hari ini dari sisi temperamen dan gaya berbicara pemeluknya, akan menjumpai sebuah kenyataan yang tidak bisa dianggap sebelah mata. Ada orang-orang yang menggantungkan setiap kejadian kepada tokoh tertentu bukan hanya dalam masalah jihad, bahkan dalam masalah dakwah, usaha memperbaiki masyarakat, amar makruf nahi munkar, dan lain sebagainya.
Yang menjadi fokus kami dalam pembahasan ini adalah menegaskan bahwa jihad tidak bergantung dengan pimpinan atau tokoh-tokoh tertentu. Menggantungkan jihad dengan tokoh, baik itu komandan (qiyâdah) ataupun mujahidin merupakan bahaya besar yang mengancam kekokohan akidah tentang syiar jihad dalam hati kaum muslimin di sepanjang zaman. Ini akan melemahkan keyakinan diri bahwa jihad akan tetap berlangsung dan relevan di setiap zaman. Bahkan, ini akan menjadi penghalang utama secara psikologis dan manhaj ketika seseorang hendak menapaki jalan jihad serta ingin mengkonsentrasikan diri terhadap syiar agama yang agung ini.
Alloh Ta‘âlâ telah mendidik shahabat Muhammad SAW untuk hanya bergantung kepada-Nya jua dan kepada agama-Nya. Alloh menerangkan kepada mereka bahwa menggantungkan diri dengan tokoh adalah cara yang tidak benar, akan berdampak kepada tergantungnya perjuangan dengan orang tersebut sehingga bisa jadi perjuangan berhenti dengan meninggalnya tokoh.
Alloh Ta‘âlâ melarang para shahabat –Radhiyallôhu ‘Anhum— menggantungkan diri kepada tokoh-tokoh tertentu, belum pernah Alloh melarang orang lain seperti larangan ini kepada mereka, Alloh melarang shahabat menggantungkan syiar-syiar agama dengan makhluk terbaik yang pernah Alloh ciptakan, dialah Muhammad bin Abdulloh SAW. Alloh melarang mereka bergantung dengan pribadi Nabi Muhammad SAW, Alloh berfirman: "Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul. Apakah ketika ia meninggal atau terbunuh, kalian berbalik ke belakang? siapa yang berbalik ke belakang, tidaklah ia membahayakan Alloh sedikitpun, dan Alloh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur."
Ayat ini turun untuk mendidik shahabat –Ridhwanullôh ‘Alaihim—, melarang mereka dari methode (manhaj) yang rusak, yang merusak ibadah; yaitu menggantungkan amal kepada orang tertentu. Menggantungkan amal di sini bukan berarti mempersekutukan Alloh dengan tokoh tersebut, bukan, karena ini bisa menjadi syirik kecil, bahkan bisa juga menjadi syirik besar; maksud kami menggantungkan amal dengan tokoh adalah ketika seorang muslim beranggapan bahwa ibadah yang ia lakukan, khususnya jihad, tidak akan menuai sukses, tidak akan mengalami kemajuan dan tidak akan mendapatkan hasil apapun kalau bukan karena Alloh menjadikan tokoh ini atau tokoh itu berada di barisan depan para pejuang yang lain. Inilah gambaran minimal yang Alloh larang untuk menjadikannya sebagai manhaj. Alloh telah melarang shahabat Rosululloh SAW memakai manhaj ini.
Perkataan para mufassirûn (ahli tafsir) berikut ini akan semakin memperjelas apa yang kami maksud, akan menerangkan betapa bahayanya manhaj tersebut yang pasti akan berujung kepada ditinggalkannya agama, atau paling tidak usaha memperjuangkannya menjadi lemah.
Baiklah, Ibnu Katsir berkata menafsirkan ayat yang kami sebutkan di atas (Tafsîr Ibnu Katsîr: I/ 410), “Ketika perang Uhud, di kala sebagian kaum muslimin mundur dan sebagian lagi terbunuh, syetan berteriak: “Muhammad terbunuh!” Ketika itu seorang bernama Ibnu Qomi‘ah kembali ke barisan kaum musyrikin seraya mengatakan, “Aku berhasil membunuh Muhammad,” Padahal sebenarnya Rosululloh SAW hanya terkena pukulan pada bagian kepala sehingga beliau terluka. Hal ini mengguncangkan hati kebanyakan kaum muslimin kala itu dan mereka menganggap Rosululloh SAW sudah terbunuh. Mereka terlalu berlebihan membayangkan Nabi SAW, seperti kisah kebanyakan pada nabi yang diceritakan Alloh. Akhirnya, terjadilah kelemahan semangat, takut mati dan lesu untuk berperang. Saat itulah turun firman Alloh: "Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul..." maksudnya, Beliau pun sama dengan para rosul yang lain dalam mengemban risalah dan beliau juga bisa dibunuh. Ibnu Abî Najîh berkata dari ayahnya: Bahwasanya ada seorang lelaki dari Muhajirin yang melewati seorang lelaki Anshor yang sedang berlumuran darah, ia berkata: “Hai fulan, tahukah kamu, Muhammad SAW sudah terbunuh.” Orang Anshor itu menjawab, “Jika Muhammad terbunuh, ia telah menyampaikan risalah, maka berperanglah membela agama yang kalian sekarang yakini.” Maka turunlah ayat: "Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul..." (Diriwayatkan oleh Al-Hafidz Abu Bakar Al-Baihaqi dalam Dala'ilun Nubuwwah). Kemudian Alloh berfirman mengingkari kelemahan yang terjadi ketika itu: “Apakah ketika ia meninggal atau terbunuh, kalian berbalik ke belakang?” artinya, kalian mundur ke belakang, “...siapa yang berbalik ke belakang, tidaklah ia membahayakan Alloh sedikitpun, dan Alloh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur,” mereka adalah orang-orang yang berbuat taat kepada Alloh, berperang membela agama-Nya, mereka mengikuti rosul-rosul-Nya, baik ketika ia masih hidup atau sudah meninggal dunia. Demikian juga terdapat riwayat-riwayat yang bisa dipertanggung jawabkan di dalam Kitab-kitab hadits shohih, musnad dan Sunan serta buku Islam lain dari banyak jalur yang menunjukkan hal ini secara absolut, saya telah menyebutkan sebelumnya dalam dua Musnad Abu Bakar dan Umar ra, di sana disebutkan bahwa Abu Bakar As-Shiddiq ra membaca ayat di atas ketika Rosululloh SAW wafat. Bukhori berkata bahwa Aisyah ra menceritakan, “Abu Bakar ra datang menaiki kuda dari kediamannya di daerah Sanh, kemudian ia turun dari kudanya dan masuk ke masjid, ia tidak mengatakan apapun kepada manusia sampai masuk ke rumahku (Aisyah), ia mengusap Rosululloh SAW dalam keadaan jasad beliau tertutup kain yang berhias tinta, kemudian ia membuka wajah beliau, kemudian ia peluk dan kecup wajah beliau seraya menangis kemudian berkata: “Demi ayah dan ibuku, Demi Alloh Alloh tidak akan mengumpulkan dua kematian pada dirimu, adapun kematian yang telah ditetapkan untukmu, engkau telah menjemputnya.” Az-Zuhri berkata, Abu Salamah bercerita kepadaku dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Abu Bakar keluar, saat itu Umar berkhutbah di hadapan manusia, Abu Bakar berkata, “Duduklah wahai Umar.” Kemudian Abu Bakar berkata, “Ammâ ba`du, barangsiapa beribadah kepada Muhammad, sesungguhnya ia telah meninggal dunia, tetapi siapa yang beribadah kepada Alloh sesungguhnya Alloh Mahahidup dan tidak pernah mati. Alloh berfirman: “Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul. Apakah ketika ia meninggal, kalian berbalik ke belakang? siapa yang berbalik ke belakang, tidaklah ia membahayakan Alloh sedikitpun, dan Alloh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” Ibnu Abbas mengatakan, "Demi Alloh, saat itu seolah orang-orang baru merasa ayat ini baru diturunkan, yaitu ketika beliau membacakannya. Maka semua orang membaca ayat tersebut, tidak ada satu orangpun tidak kudengar membacanya, Sa`id bin Musayyib menceritakan kepadaku bahwasanya Umar berkata: “Demi Alloh aku baru tersadar setelah Abu Bakar membacakannya, akupun bercucuran keringat sampai-sampai kedua kakiku tak sanggup menyangga tubuhku dan akupun jatuh tersungkur.” Abul Qosim At-Thobarôni berkata dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya ‘Ali mengatakan ketika Rosululloh SAW masih hidup, “Apakah jika Muhammad meninggal atau terbunuh, kalian akan berbalik ke belakang...” Demi Alloh kami tidak akan mundur ke belakang setelah Alloh memberi kami hidayah, demi Alloh seandainya beliau wafat atau terbunuh aku benar-benar akan berperang membelanya sampai aku mati, demi Alloh aku adalah saudaranya, aku adalah walinya, aku adalah sepupunya, aku adalah ahli warisnya, siapakah yang lebih berhak membelanya selain aku?” Sedangkan firman Alloh pada ayat selanjutnya: "Tidaklah satu jiwa meninggal kecuali atas izin Alloh, sebagai ketetapan yang sudah pasti." artinya, tidak ada seorangpun yang mati kecuali atas takdir Alloh sampai ia habiskan batas waktu yang Alloh tentukan untuknya, oleh karena itu Alloh berfirman: "...sebagai ketetapan yang sudah pasti." Sama seperti firman Alloh: "Tidaklah orang yang berumur ditambah dan dikurangi umurnya kecuali sudah tercantum dalam Kitab (Lauhul Mahfudz)." seperti juga firman Alloh: "Dialah yang telah menciptakan kamu dari tanah kemudian menentukan ajal, ajal pasti itu ada di sisi-Nya...” Ayat ini menjadi pemberi semangat bagi orang-orang yang bernyali ciut sekaligus pendorong untuk berperang, karena maju ataupun mundur sama sekali tidak akan mengurangi atau menambah umurnya sebagaimana perkataan Ibnu Abi Hatim, Al-Abbas bin Yazid Al-Abdi berkata kepadaku, Aku mendengar Abu Muawiyah bercerita dari Al-A`masy dari Hubaib bin Shohban ia berkata: Ada seorang dari kaum muslimin –yaitu Hujr bin ‘Adi— mengatakan: “Apa yang menjadikan kalian tidak bisa menyeberang ke tempat musuh melewati sungai Dajlah ini? “Tidaklah satu jiwa mati kecuali atas izin Alloh dengan ketetapan yang sudah pasti.” Kemudian ia nekat menyeberang sungai itu dengan kudanya, ketika melihat ia maju maka orangpun semuanya maju, ketika musuh melihat hal itu mereka mengatakan: “Orang gila...orang gila...” dan merekapun lari.” Sampai di sini perkataan Ibnu Katsir Rahimahullôh.
Penulis Zâdul Masîr berkata ketika menafsirkan ayat ini: “Alloh Ta`ala berfirman, “Muhammad tak lain adalah seorang rosul ...”, Ibnu Abbas berkata: Ketika perang Uhud syetan berteriak: Muhammad terbunuh! Maka sebagian kaum muslimin mengatakan, “Jika Muhammad terbunuh kita akan menyerah, mereka (kaum musyrikin) itu adalah keluarga dan saudara kita, seandainya Muhammad hidup tentu kita tidak akan kalah,” kemudian orang-orang itu memilih untuk lari dari perang maka turunlah ayat ini. Adh-Dhohâk berkata: Orang-orang munafik berkata, Muhammad telah terbunuh, kembalilah kalian kepada agama pertama kalian; maka turunlah ayat ini. Qotadah berkata: Sebagian orang mengatakan, Seandainya ia nabi tentu ia tidak terbunuh.”
Penulis Fathul Qodîr berkata (I/ 385) menafsirkan ayat ini: "Muhammad tak lain adalah seorang rosul yang telah lewat para rosul sebelumnya..." Sebab turun ayat ini adalah sebagai berikut: Ketika Nabi SAW terluka di perang Uhud, syetan berteriak: Muhammad telah terbunuh! Mendengar itu sebagian kaum muslimin merasa putus harapan sampai ada yang mengatakan: Muhammad terbunuh, menyerah saja kita, merekapun saudara kita juga. Sebagian lagi mengatakan: Kalau Muhammad itu rosul, ia tidak akan terbunuh. Maka Alloh mematahkan persangkaan mereka ini dan mengkhabarkan bahwa beliau hanyalah seorang rosul yang sebelumnya telah lewat rosul-rosul, beliaupun akan berlalu sebagaimana mereka juga berlalu, jadi kalimat dalam firman Alloh: "...telah lewat para rosul sebelum beliau," adalah kata sifat bagi Rosululloh, sedangkan kontek pembatasan kalimat dalam ayat tersebut adalah pembatasan yang bersifat khusus, karena seolah aneh bagi mereka kalau beliau bisa meninggal dunia, mereka menetapkan bagi beliau dua sifat yaitu sebagai pengemban risalah dan sifat bahwa beliau tidak bisa meninggal, maka Allohpun mementahkan anggapan mereka tersebut dengan menetapkan bahwa beliau adalah seorang rosul yang tidak sampai menyandang sifat tidak bisa meninggal dunia. Ada juga yang berpendapat pembatasan dalam ayat ini bersifat pembatasan kebalikan, karena Ibnu Abbas membaca ayat di atas begini: "Qod Kholat min qoblu rusulun..." ("Para rosul sebelumnya telah berlalu..."). Setelah itu, Alloh mengingkari sikap mereka dengan berfirman: "Apakah kalau ia meninggal atau terbunuh kalian akan berbalik ke belakang." maksudnya, bagaimana kalian menolak kembali dan meninggalkan agama yang ia bawa ketika ia meninggal atau terbunuh padahal kalian tahu bahwa para rosul sebelumnya telah berlalu sementara para pengikut mereka tetap konsisten dengan agamanya meskipun mereka kehilangan pimpinannya karena wafat atau terbunuh? Firman Alloh: "...barangsiapa berbalik ke belakang..." yakni mundur dari perang serta murtad dari Islam, ia tidak membahayakan Alloh sedikitpun, tetapi sebenarnya ia membahayakan dirinya sendiri, "...dan Alloh pasti akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur," yakni orang-orang yang bersabar, terus berperang dan mencari kesyahidan, karena berarti dengan itu mereka telah mensyukuri nikmat Alloh yang Dia berikan kepadanya berupa agama Islam, dan siapa yang melaksanakan perintah-Nya berarti ia telah mensyukuri nikmat yang Alloh berikan kepadanya." Sampai di sini perkataan penulis Rahimahulloh.
Penulis kitab Shôhibul ‘Ujâb fî Bayâni `l-Asbâb berkata, “Firman Alloh Ta‘âlâ: “Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul...” Thobari meriwayatkan melalui jalur Said bin Abi ‘Urubah dan jalur Ar-Robî‘ bin Anas keduanya menceritakan, “Ketika kaum muslimin kehilangan Nabi SAW pada peristiwa Uhud, sebagian mengatakan: Kalau ia nabi tentu tidak akan terbunuh; sebagian lagi mengatakan: Terus berperanglah kalian seperti nabi kalian berperang sampai Alloh menangkan kalian atau kalian susul nabi kalian. Maka turunlah ayat ini. Robi` menambahkan, Ada seorang lelaki Muhajirin melewati seorang lelaki Anshor yang bersimbah darah, orang Muhajirin ini mengatakan: ‘Tidak tahukah kamu, Muhammad sudah terbunuh.’ Orang Anshor itu menjawab: ‘Kalaulah Muhammad terbunuh, beliau telah menyampaikan risalah; berperanglah kalian di atas agama yang beliau sampaikan.’Maka turunlah ayat ini. Kemudian dari jalur Asbâth dari As-Suddî: Diriwayatkan bahwa ketika pecah perang Uhud....dst (selanjutnya ia menyebutkan kisah seperti di atas), di antara isi kisahnya disebutkan bahwa saat itu tersebar berita Muhammad telah terbunuh, maka ada yang mengatakan: “Seandainya saja dari kita ada utusan kepada Abdulloh bin Ubay supaya ia meminta jaminan keamanan untuk kita dari Abu Sufyan, wahai manusia, kembalilah kepada kaum kalian sebelum kalian terbunuh.” Ketika itu, Anas bin Nadhr berkata, “Hai manusia, jika Muhammad telah terbunuh, sesungguhnya robb Muhammad tidak bisa terbunuh, maka berperanglah kalian di atas agama yang telah kalian peluk.” Sementara itu, Rosululloh SAW pergi ke sebuah batu, sedikit demi sedikit kaum muslimin berkumpul ke tempat beliau, maka turunlah ayat tentang orang yang mengatakan bahwa Muhammad telah terbunuh tadi: “Muhammad tak lain adalah seorang rosul dst...” Sedangkan dari jalur Ibnu Ishâq ia berkata, Al-Qôsim bin Abdur Rohmân bin Rofî‘ Al-Anshôrî –ia seorang lelaki dari Bani ‘Adî bin Najjâr—menceritakan kepadaku bahwasanya Anas bin Nadhr menghampiri beberapa orang Muhajirin dan Anshor yang angkat tangan (pertanda menyerah), ia berkata: “Apa yang menjadikan kalian duduk-duduk saja?” Mereka mengatakan: “Rosululloh SAW telah terbunuh.” “Kalau begitu, apalagi yang akan lakukan dalam hidup jika beliau meninggal? Marilah kita mati seperti beliau mati,” kata Anas, lalu ia maju ke arah musuh dan terus berperang hingga terbunuh.” Sampai di sini perkataan penulis –Rahimahulloh—
Perkataan ahli tafsir mengenai sebab turun dan tafsiran ayat ini terlalu panjang untuk disebutkan seluruhnya di sini, tetapi dari perkataan mereka yang sudah kami sebutkan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa orang-orang yang menyertai Rosululloh SAW di Uhud dan mendengar berita terbunuhnya beliau saat itu berada dalam dua jalan (manhaj); para pengikut manhaj yang tercela dan manhaj yang terpuji. Pengikut manhaj tercela adalah mereka yang diingatkan Alloh dalam ayat tadi dan diingatkan akan bahaya manhaj yang mereka tempuh, yaitu menggantungkan amal dengan tokoh walaupun tokoh itu adalah Rosululloh SAW, para pengikut manhaj tercela inipun terbagi menjadi dua, satu kelompok patah semangat dalam berjuang, mereka ditimpa kelemahan dan keciutan disebabkan peristiwa dahsyat yang mereka alami sampai mereka berfikir untuk mencari selamat agar tidak terbunuh serta meminta jaminan keamanan dari orang-orang kafir; satu kelompok lagi adalah orang-orang yang kesesatannya lebih parah, mereka ini sampai meyakini keyakinan kufur dan menyatakannya terus terang, merekalah yang mengatakan bahwa kalau beliau nabi tentu tidak terbunuh, atau yang mengatakan kembali saja kalian kepada agama pertama kalian sebelum kalian nanti terbunuh.
Perkataan dua kelompok tercela seperti inilah yang hari banyak sekali digaungkan oleh banyak kaum muslimin, mereka menggembar-gemborkannya di artikel-artikel, majalah dan jaringan-jaringan informasi; “Kalau jihad yang dilakukan Taliban dan mujahidin arab itu benar, tentu mereka tidak menarik diri dari kota dan tidak akan kalah…” kata mereka. Sebagian lagi mengatakan, “Sebaiknya mujahidin Afghan itu meletakkan senjata saja, menyerah kepada pemerintahan mereka supaya kesusahan mereka berakhir.”
Lihat, tak beda antara petang dan malam, sama saja antara mereka dengan kelompok yang kami kisahkan di atas. Kalau pada kasus di perang Uhud, untuk menganggap agama Muhammad batil mereka menjadikan kekalahan perang sebagai tolok ukur, mereka mengingkari risalah beliau ketika mendengar berita terbunuhnya beliau, padahal mereka turut berperang bersama beliau saat itu. Hari ini, manhaj batil itu kembali terulang dengan lebih jelas dari orang-orang sesat itu, mereka mengatakan kekalahan Taliban dan mujahidin menunjukkan manhaj mereka adalah batil. Lihatlah, sejarah kembali terulang, orang yang sesat dari jalan yang luruspun memiliki contoh terdahulu yang memberikan teladan pada setiap kejahatan.
Namun, orang-orang yang berada di atas petunjuk dan agama Islam yang benar adalah kelompok kedua, kelompok manhaj yang terpuji, manhaj itu dinukil hingga sampai kepada kita oleh pakar-pakar tafsir langsung dari kancah peperangan Uhud; merekalah yang menyambut berita terbunuhnya Nabi SAW dengan kata-kata Anas bin Nadhr ra ketika ia melewati orang-orang Muhajirin dan Anshor yang meletakkan tangan, ketika itu ia berkata: “Apa yang menyebabkan kalian duduk-duduk saja?” mereka menjawab, “Rosululloh SAW sudah terbunuh.” “Kalau begitu, apa yang kalian perbuat dalam hidup setelah beliau terbunuh? Mari kita mati seperti beliau mati.” Lalu ia maju menyerang musuh dan terus berperang sampai terbunuh. Manhaj ini juga tercermin pada diri Abu Bakar Ash-Shiddiq ra yang mengatakan ketika Rosululloh SAW wafat: “Barangsiapa beribadah kepada Muhammad, sesungguhnya beliau telah meninggal; barangsiapa beribadah kepada Alloh sesungguhnya Alloh Mahahidup dan tidak akan pernah mati.” Juga tercermin dalam diri Ali bin Abi Tholib setelah ia membaca ayat: “Muhammad tidak lain adalah seorang rosul…dst” ia mengatakan: “Demi Alloh, kami tidak akan pernah mundur setelah Alloh memberi kami hidayah, demi Alloh kalaulah beliau meninggal atau terbunuh, aku akan tetap berperang membela beliau sampai aku mati.”
Inilah manhaj shahabat RA seluruhnya, merekalah orang-orang yang beribadah kepada Alloh dengan sebenar-benarnya, setelah Rosululloh SAW wafat merekalah yang menyambung jalan dan tidak patah arang dari berjihad, dakwah dan ibadah, tetapi mereka tetap berjalan di atas manhaj yang digemblengkan Rosululloh SAW kepada mereka. Ketika menderita kekalahan, mereka praktekkan firman Alloh Ta‘âlâ: “Janganlah kalian merasa hina dan rendah, kalian adalah tinggi jika kalian beriman.” Dan firman Alloh Ta‘âlâ: “Apakah ketika kalian ditimpa musibah yang sebelumnya telah menimpa kalian, kalian mengatakan: Bagaimana ini bisa terjadi? Katakan (hai Muhammad): Itu berasal dari diri kalian sendiri, sesungguhnya Alloh Mahakuasa atas segala sesuatu.” Ketika memperoleh kemenangan, mereka praktekkan firman Alloh Ta‘âlâ: “Ingatlah ketika dulu kalian sedikit dan tertindas di bumi, kalian takut manusia menerkam kalian kemudian Alloh memberikan tempat kepada kalian dan menguatkan kalian dengan pertolongan-Nya serta memberi kalian rezeki berupa kebaikan-kebaikan agar kalian bersyukur.”
Inilah manhaj kebenaran yang diridhoi Alloh untuk kita; yaitu amal (perjuangan) digantungkan berdasarkan dalil-dalil syar‘i, menghukumi sesuatu itu benar atau salah tidak dinilai dengan hasil-hasil yang dicapai, tetapi berdasarkan dalil-dalil Al-Quran dan sunnah, dalam kejadian apapun. Kalau ada orang yang menilai peperangan-peperangan berdasarkan hasil akhirnya dengan tolok ukur ini, mau tidak mau ia akan mengatakan –wal ‘iyâdzu billâh—bahwa perang Uhud adalah peperangan yang batil, Rosululloh SAW tidak tepat menentukan langkah dengan melancarkan perang tersebut, karena beliau kalah, sedangkan kekalahan adalah indikasi batilnya sebuah manhaj, menurut orang-orang yang tidak tahu dan suka membuat kekacauan dalam tubuh kaum muslimin.
Pada intinya, pengikut manhaj bathil yang mengingkari kenabian Nabi Muhammad SAW dan kebenaran agama Islam adalah mereka yang mengkaitkan agama dengan orang dan menggantungkan jihad dengan tokoh. Manhaj yang mereka pegang ini berdampak kepada kerusakan besar, mereka akan mengingkari khithah awal dengan alasan ketidak tepatan atau kegagalan dari hasil yang dicapai. Ketika seseorang sampai kepada manhaj seperti ini, bisa dipastikan ia akan terperosok ke dalam jurang kekufuran, keputus asaan dan sikap apatis. Inilah manhaj kebanyakan kaum ruwaibidhoh hari ini, yang tidak lagi memiliki rasa malu kepada Alloh dan para hamba-Nya, setiap kejadian ia berpendapat lain dari sebelumnya, jika melihat kemenangan mereka bertambah semangat, mengulang-ulang pujian dan rasa salut. Sebaliknya, ketika menyaksikan kekalahan dan ujian dari Alloh terhadap para hamba-Nya, mereka akan menganggap sesat, membid‘ah-bid‘ahkan, mengkritik, mencaci dan mencela.
Barangkali di antara hikmah Alloh SWT mengapa mujahidin tertimpa kekalahan adalah untuk menyaring orang-orang yang berada dalam barisan mereka, pertama; selanjutnya menyaring orang-orang yang tadinya simpati dan menganggap dirinya bagian dari mujahidin. Alloh telah kuak tekhnik dan sifat sifat mereka secara mendetail, di mana Alloh berfirman: “Dan sesungguhnya di antara kamu ada orang-orang yang sangat berlambat-lambat (ke medan pertempuran). Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata:"Sesungguhnya Allah telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka". Dan sungguh jika kamu beroleh karunia (kemenangan) dari Allah, tentulah dia mengatakan seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia:"Wahai, kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar (pula).”
Dan berfirman: “(yaitu) orang-orang yang menunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mu'min). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata:"Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata:"Bukankah kami (turut berperang) bersama kamu" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata:"Bukankah kami turut memenangkan kamu, dan membela kamu dari orang-orang mu'min". Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
Memang, Jihad ini tidak akan mampu dilaksanakan kecuali oleh orang yang pantas memikulnya, karena untuk mencapai kemenangan dan kekuasaan di muka bumi ibarat unta menempuh luasnya padang pasir. Demikian juga hari ini, tidak ada yang mampu membela panji jihad ini selain orang yang sudah menyiapkan dirinya untuk menanggung bala dan ujian. Adapun orang yang bermanhaj tak jelas dan mengambang, tidak mengerti apakah sebenarnya dirinya berposisi sebagai pembela jihad ataukah yang menentang, maka cukuplah dengan ayat-ayat di atas Alloh menyingkap teknik-teknik berkelit mereka, dan dalam surat At-Taubah diungkapkan bagaimana mereka tampak dihinakan lantaran teknik-teknik berkelit gaya syetan yang mereka gunakan sekaligus mengungkap kedok dari manhaj mereka yang batil.
Sesungguhnya menggantungkan jihad atau pertempuran dengan orang-orang tertentu hanya akan membuahkan kekalahan yang jelas. Kalaulah kekalahan itu bukan di medan pertempuran, secara moril kekalahan itu sudah terjadi berupa rasa futûr (patah arang) dari berjihad ketika suatu saat nanti para komandan itu hilang yang mana tadinya mereka sangka kemenangan hanya bisa diraih dengan keberadaan mereka.
Maka dari itu, keliru kalau kaum muslimin menggantungkan urusan kepada orang atau tokoh tertentu. Sebab itu, jihad ini harus dibebaskan dari ikatan berupa tokoh-tokoh. Benar kita memang memerlukan ke-qiyadah-an untuk mempersatukan para mujahidin, kita juga memerlukan qiyadah untuk menyusun langkah dan strategi; tetapi hilangnya komandan bukan berarti ikatan antar kaum muslimin dengan jihad harus lepas. Karena seperti halnya jihadlah yang melahirkan para komandan sekelas mereka, dengan terus berlangsungnya jihad kelak akan lahir juga komandan-komandan baru yang kredibel. Sejarah menjadi bukti; tidak ada satu zamanpun berlalu setelah wafatnya Nabi SAW kecuali di sana ada singa-singa yang membela agama ini, sampai-sampai tidak mungkin orang bisa mengatakan bahwa sebelumnya tidak ada singa-singa pembela agama. Para wanita muslimat tak pernah mandul untuk melahirkan orang-orang sekelas Umar bin Khotob, Ali bin Abi Tholib, Kholid bin Al-Walîd, Miqdâd, ‘Ikrimah, Sholahuddîn dan Komandan Quthz (atau Qatazh). Umat ini ibarat hujan, tidak bisa ditebak di mana berkah kebaikannya berada; apakah saat pertama kali turun atau ketika hujan mau berhenti.
Walaupun kaum muslimin kehilangan komandannya, mereka yang sudah tergembleng untuk tidak menggantungkan jihad dengan simbol tokoh akan semakin mantab berjalan di atas manhaj dan jalan yang ia yakini. Sebab mereka beribadah kepada robb yang mewajibkan jihad, bukan kepada komandan jihad. Komandan itu akan muncul di bumi pertempuran ketika ia sendiri menantang maut sebagaimana prajuritnya menantang maut, bahkan komandanlah yang senantiasa mencari kesyahidan, yang menunggu-nunggu hari di mana ia bertunangan dengan hûrun ‘În (bidadari bermata jeli), menunggu saat-saat mulia untuk bisa melihat Alloh robb semesta alam; para komandan itu sangat-sangat merindukan hari itu, ia berusaha meraih dan selalu mencita-citakannya.
Jika para komandan itu berhasil meraih apa yang ia cita-citakan, misalnya Mulla Muhammad ‘Umar terbunuh, Syaikh Usâmah terbunuh, Komandan Syamil Basayev terbunuh, Komandan Khothôb terbunuh, atau komandan jihad di bumi manapun terbunuh –semoga Alloh tetap melindungi mereka semua—, maka tercapainya apa yang mereka cita-citakan berarti sebuah kemenangan besar bagi mereka. Adapun jihad tidak akan pernah terbengkalai, sebab Alloh telah jamin keberlangsungannya hingga hari kiamat dan menjanjikan kemenangan kepada hamba-hamba-Nya jika mereka memenuhi syarat-syarat terperolehnya kemenangan, baik para komandan itu bersama mereka atau terbunuh di jalan Alloh Ta‘âlâ.
Maka sudah tidak selayaknya kita menggantungkan jihad dengan orang atau mengikat suatu peperangan dengan tokoh, sebagaimana dikatakan Syaikh Sulaimân Abû Ghoits belum lama ini: “Kalau Usâmah terbunuh, seribu Usâmah akan lahir memikul panji jihad sepeninggalnya.”
Syaikh Usâmah sendiri mengatakan dalam salah satu tayangan wawancara ketika beliau ditanya tentang kemungkinan hancurnya jaringan antara Al-Qaeda dengan mujahidin Afghan dan Arab jika beliau terbunuh: “Terbunuhnya saya, saya anggap sebagai kesyahidan di jalan Alloh Ta‘âlâ, inilah yang justru saya cita-citakan, saya memohon kepada Alloh agar berkenan menganugerahi saya kesyahidan, Usâmah tidak lain hanyalah satu dari bagian umat Islam, dalam tubuh umat masih banyak perwira-perwira yang siap menjadi tumbal agama ini dengan menggadaikan nyawa dan apa saja yang ia miliki, jadi Usâmah bukan satu tokoh yang mewakili umat, ia hanyalah pemikul manhaj yang oleh anggota umat Islam lainnya juga diyakini.”
Sebagai penutup pembahasan ini, sekali lagi kami ingatkan kaum muslimin seluruhnya agar jangan menggantungkan jihad dengan simbol tokoh atau menggantungkan peperangan dengan orang. Ini adalah manhaj batil dan sangat tidak baik yang bisa merusak agama dan dunia.
Jihad ini adalah salah satu dari syiar Alloh Ta‘âlâ; di antara prinsip baku yang tidak akan berubah adalah ia terus berlangsung hingga hari kiamat.
Dulu, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, manhaj jihad para shahabat –Radhiyallôhu ‘anhum—tidak pernah berubah, bahkan penaklukan-penaklukan terus berlangsung. Ketika Abu Bakar ra meninggal, negara Islam semakin meluas dan syiar jihad tidak terpengaruh dengan kematian beliau. Ketika ‘Umar bin Khothôb terbunuh, kaum muslimin justeru semakin tersebar di seluruh penjuru dunia. Demikianlah keadaan kaum muslimin dari generasi ke generasi.
Di antara prinsip baku kita adalah: Jihad ini sebuah keyakinan dan syiar agung, ia tidak bisa berubah atau terganggu dengan hilangnya tokoh atau komandan.
Kita memohon kepada Alloh agar menunjuki kita jalan yang lurus, mengangkat keadaan umat kita dan mengangkat harga dirinya di atas bangsa-bangsa kafir di seluruh penjuru bumi, sesungguhnya Allohlah yang berhak dan Mahakuasa untuk itu.

PRINSIP BAKU KE – TIGA:
JIHAD TIDAK BERGANTUNG DENGAN NEGERI
Setelah kami sebutkan dalil-dalil pada dua pembahasan di atas yang menegaskan bahwa jihad tetap sesuai untuk semua zaman dan bahwa tidak ada satu zamanpun sejak Alloh syariatkan jihad kepada Nabi-Nya Muhammad SAW hingga menjelang hari kiamat kecuali pasti ada panji jihad fi sabilillah yang ditegakkan, akan semakin lengkap jika di sini kami sebutkan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa jihad tidak bergantung dengan satu negeri saja, asal sebab syar‘inya ada dan penghalang (mâni‘)-nya tidak ada.
Di antara pemahaman keliru yang menyebabkan pemahaman jihad menyimpang adalah menggantungkan jihad dengan bumi tertentu, ketika di bumi tersebut runtuh atau mengalami kehancuran maka pemahaman seperti ini secara otomatis akan mengakibatkan ibadah jihad ditinggalkan, mengkaburkannya, atau mengatakan bahwa jihad belum waktunya.
Sebelum kita lebih dalam menyelami ibadah jihad, ada satu pemahaman agung yang mesti kita tancapkan dengan kokoh dalam rangka menggembleng diri dengan ibadah yang satu ini, yaitu bahwa jihad ini bersifat ‘âlamî (global, mendunia), tidak dibatasi oleh garis negara dan sekat-sekat tertentu. Harus dipahami juga bahwa seorang muslimlah yang perlu dengan ibadah jihad ini jika ia terus konsisten dalam menyampaikan agama Alloh Ta‘âlâ dan menyeru manusia untuk kembali kepada robbnya, seperti yang dilakukan para shahabat –Radhiyallôhu ‘Anhum— ketika mereka merambah berbagai pelosok dunai sejak dari ujung barat hingga ujung timur. Mereka membawa risalah yang isinya seperti yang diungkapkan seorang sahabat bernama Rib‘î bin ‘Âmir ketika ia ditanya panglima Rustum dari Romawi: Mengapa kalian datang ke mari? Rib‘î menjawab: “Allohlah yang mengirim kami, Allohlah yang menakdirkan kami datang dalam rangka membebaskan orang-orang yang Dia kehendaki dari peribadatan kepada sesama hamba menuju peribadatan kepada Alloh saja, membebaskan mereka dari sempitnya dunia menuju keluasannya, dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam, kami dikirim Alloh dengan mengemban agama-Nya untuk kami ajak manusia memeluknya, jika ia menerima maka kamipun terima dia, siapa yang tak mau terima kami perangi dia sampai kapanpun hingga kami menjumpai janji Alloh.” “Apa itu janji Alloh?” tanya Rustum, “Surga bagi yang mati ketika memerangi orang-orang yang membangkang masuk Islam, dan kemenangan bagi yang masih hidup.” jawabnya.
Jadi, para shahabat datang dengan membawa pedang sekaligus Al-Qur’an untuk menaklukkan negeri-negeri di dunia. Karena seorang muslim itu harus selalu sadar kalau dirinya mengemban risalah Nabi Muhammad, maka ia juga harus paham bahwa jihad ini cocok untuk segala zaman dan tempat.
Maksud kami cocok untuk segala tempat, bukan berarti seorang muslim itu melulu berfikir untuk menyulut api peperangan di mana mana, bukan seperti itu maksudnya. Maksud kami cocok untuk segala tempat adalah tempat yang memenuhi syarat dan tidak ada penghalang untuk ditegakkan jihad di sana. Sementara itu, syarat dan penghalang (atau dalam istilah syar‘inya adalah mâni‘, penerj.) ini memiliki kaidah-kaidah syar‘i yang tidak akan kita bahas di sini, barangkali akan kita sendirikan pembahasannya nanti.
Intinya, yakin bahwa jihad ini akan terus berlangsung hingga menjelang hari kiamat dan bahwa jihad cocok untuk segala zaman –yang sudah kita bicarakan pada bagian pertama—akan membuat kita yakin bahwa jihad pada hari ini ada di kebanyakan negara di dunia. Maknanya, jihad tidak tergantung dengan negeri di mana ia ada, tetapi tergantung dengan syarat-syaratnya, baik syarat itu berupa sebab dari disyariatkannya jihad atau syarat berupa teknis-teknis yang bisa mendukung operasi jihad. Jihad juga tergantung dengan mâni‘-nya ada atau tidak. Maka kapan saja sebab ada dan mâni‘-nya tidak ada, maka jihad itu pasti akan membuahkan hasil positif. Dan, tidak mungkin di dunia ini –di negeri manapun—tidak ada sama sekali sebab yang menjadikan jihad disyariatkan dan tidak mungkin di dunia ini penopang-penopang teknis terlaksananya jihad tidak ada sama sekali.
Memahami jihad dari titik tolak ini akan menjadikan seorang muslim bebas dalam menerapkan ibadah jihad, ia tidak akan terpancang dengan negara tertentu, ia tidak akan menggantungkan jihad dengan sebuah negara, ia hanya menggantungkan jihad dengan terpenuhinya syarat dan tidak adanya mâni‘, kapan syaratnya ada dan mâni‘ nya tidak ada berarti tempat itu cocok untuk menggulirkan jihad.
Hal ini akan semakin jelas kalau kita buka kembali lembaran sejarah. Dulu, di awal-awal Islam kaum muslimin harus rugi dengan kehilangan tempat tinggal, negeri dan hartanya –yaitu Mekkah—, meskipun demikian kaum muslimin tidak kemudian merasa bahwa Islam hanya akan berkembang dari negeri suci tersebut lantaran di sanalah pusat pendukung kemenangan Islam, di antaranya karena Kiblat bangsa arab kala itu adalah Mekkah, Mekkahlah negeri yang disegani bangsa Arab, Mekkahlah negeri terpandang dan penduduknya terkenal. Akan tetapi, Nabi SAW atas perintah Alloh harus keluar dari negeri tersebut untuk menyebarkan Islam bukan dari negeri tersebut. Tak pernah Nabi SAW berfikir untuk berhijrah, saat itu beliau berencana untuk pergi ke Yamamah atau Hijir, beliau berdakwah menawarkan dirinya kepada penduduk Thaif agar dakwah Islam bisa tersebar dari sana, tapi ternyata Alloh mewahyukan kepada beliau untuk hijrah ke Tayibah (nama lain Madinah, penerj.), maka berhijrahlah beliau ke sana dan membangun pondasi, penopang jihad dan pertahanan di sana. Mulailah beliau berjuang di negeri hijrah yang beliau tempati, seolah-olah itulah negeri kelahiran beliau. Akhirnya, Islampun menyebar dari selain jengkal tanah yang paling dicintai Alloh dan Nabi-Nya SAW. Inilah kata-kata Rosululloh SAW ketika beliau keluar dari Mekkah dengan berjalan kaki menuju gua Tsûr seraya memandang ke arah Mekkah –seperti diriwayatkan Qurthubî dalam tafsir-nya dari Ibnu ‘Abbâs ra—: “Ya Alloh…wahai Mekkah, sungguh engkau adalah tanah yang paling dicintai Alloh, kalau bukan karena orang-orang musyrik yang mendudukimu itu mengusirku, aku tidak akan pernah keluar darimu.” Setelah itu turunlah ayat:

{وكأين من قرية هي أشد قوة.. الآية)
Dan betapa banyaknya negeri-negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu itu.Kami telah membinasakan mereka; maka tidak ada seorang penolongpun bagi mereka. (QS. Muhammad [47]:13)”
(Disebutkan oleh Ats-Tsa‘labi dan ini adalah hadits shohih.)
Tirmizî juga meriwayatkan, demikian juga Al-Hâkim dan Ibnu Hibbân serta yang lain, bahwa Nabi SAW berujar kepada negeri Mekkah: “Sungguh, engkau adalah negeri terbaik, engkau negeri yang paling kucintai, kalau bukan karena kaumku mengusirku darimu, aku tidak akan tinggal di negeri selainmu.” Dalam riwayat lain: “Demi Alloh, aku tahu bahwa engkau adalah bumi Alloh terbaik dan paling disukai Alloh, kalau bukan karena pendudukmu mengusirku darimu, aku tidak akan keluar.”
Demikianlah, beliau tidak mengikat dirinya dengan negeri, beliau mengikat dirinya dengan syiar-syiar Islam, beliau siapkan tempat dan kondisi di manapun asal bisa menerapkan syiar tersebut. Seperti inilah karakter Nabi SAW baik dalam dakwah maupun jihad serta syiar Islam lainnya.
Sepeninggal beliau, para shahabat mengemban panji yang beliau wariskan, mereka mengerjakan seperti yang dikerjakan oleh pimpinan mereka, maka para shahabat merambah ke berbagai penjuru dunia, mereka keluar dari Madinah bukan untuk menyelamatkan agamanya seperti tatkala mereka keluar dari Mekkah, tapi mereka keluar dari negeri paling suci setelah Mekkah itu dalam rangka menyebarkan agama Islam dan menegakkan syiar jihad di belahan bumi timur dan barat.
Ini dijelaskan oleh sebuah hadits riwayat Imam Mâlik dalam Muwatho’¬-nya, beliau menuturkan bahwa Abu `d-Dardâ’ ra menulis surat kepada Salmân Al-Fârisî ra untuk bergabung dengan beliau di Madinah sebagai tanah suci, maka Salmân membalas dengan kata-kata: “Tanah (negeri) bukan yang menjadikan seorang menjadi suci, yang menjadikan seseorang suci adalah amalannya.”
Jadi, para shahabat tidak menggantungkan jihad dengan Mekkah atau Madinah, tidak juga dengan Baitul Maqdis (Palestina), tapi mereka menganggap jihad sebagai ibadah yang mereka beribadah kepada Alloh dengannya di manapun mereka berada asal sebab-sebab untuk melaksanakan ibadah itu ada.
Seandainya kaum muslimin menggantungkan jihad dengan negeri tertentu, tentu jihad ini sudah berhenti sejak lama. Karena, kaum muslimin dalam pentas sejarah sudah sekian kali kehilangan kontrol kekuasaan di tempat-tempat yang mereka kuasai sebelumnya.
Menggantungkan jihad demi Masjidil Aqsha saja, misalnya, akan menjadikan jihad ini berhenti ketika kaum muslimin tidak mampu membebaskannya dari cengkeraman yahudi atau setelah mereka sudah berhasil membebaskannya. Kedua-duanya menihilkan manâth (sebab) jihad satu-satunya sehingga jihadpun tak terlaksana. Ini menampakkan dengan jelas kesesatan orang yang mengatakan bahwa perseteruan antara kita dan yahudi disebabkan memperebutkan tanah. Sungguh dusta orang yang mengatakan ini. Pada hakikatnya, permusuhan kita dengan yahudi adalah permusuhan akidah, artinya seandainya kaum muslimin sudah berhasil membebaskan seluruh negeri Islam dari cengkeraman yahudi, tentu kewajiban selanjutnya adalah memburu dan memerangi mereka hingga ke pusat negerinya sebagaimana dilakukan Nabi SAW dan para shahabat sepeninggal beliau.

Memahami bahwa jihad terkait dengan negeri tertentu adalah pemahaman yang keliru, dampaknya jihad akan berhenti manakala di negeri itu tidak ada jihad lagi. Pemahaman model seperti ini juga akan menihilkan syiar Islam lainnya ketika ia digantungkan kepada sebab-sebab yang tidak diizinkan Alloh.

Inilah yang mesti dimengerti oleh semua, khususnya kita sudah tahu bahwa jihad tidak akan mungkin berhenti di zaman kapanpun. Maka siapa yang menggantungkan jihad dengan negeri tertentu, mau tidak mau ia akan mengatakan tidak ada lagi jihad ketika di negeri itu jihad sudah berhenti.

Prinsip baku ke empat: Jihad tidak tergantung dengan pertempuran
Di antara musibah yang merusak keyakinan banyak umat Islam adalah mengkaitkan jihad dengan pertempuran, jika kita menang dalam pertempuran tersebut berarti prinsip dan pondasi jihad kita benar, tapi jika kita mengalami kekalahan berarti prinsip dan manhaj kita keliru.
Keyakinan seperti ini tentu saja batil, baik secara akal maupun syar‘i. Keyakinan ini lahir dari lemahnya kepercayaan diri, minimnya iman dan ketidak mampuan untuk bersabar dan mempertahankan kesabaran tersebut.
Mengapa batil secara akal? Karena tidak ada hubungan baik menurut pendapat orang dan akal antara prinsip dan hasil yang dicapai, sehingga kegagalan hasil sebuah perjuangan tidak bisa menunjukkan batil tidaknya suatu prinsip atau manhaj.
Adapun kebatilannya secara syar‘i: karena ditunjukan oleh sebuah hadits Nabi SAW di dalam Shohîh Bukhôrî Muslim bahwa beliau bersabda: “Ditampakkan kepadaku umat-umat manusia, ada nabi yang lewat hanya dengan beberapa kelompok orang, bahkan ada nabi yang tidak membawa pengikut sama sekali.”
Lihat, nabi yang tidak membawa pengikut sama sekali, ia datang tanpa membawa hasil sedikitpun dari dakwahnya, tapi tidak adanya seorangpun yang masuk Islam bersamanya tentu tidak menunjukkan bahwa dakwah yang ia emban itu batil atau salah –Mahatinggi Alloh dari itu—ketika ia diutus pada waktu dan tempat yang sudah sesuai. Keyakinan kalau berarti dakwah Nabi ini batil tidaklah diyakini selain oleh orang zindiq.
Dalam pentas sejarah, kita banyak memiliki contoh kekalahan, sampai-sampai seorang muslim akan menganggap kekalahan itu menjadikan Islam tidak akan tegak kembali. Yang paling dahsyat adalah kekalahan kaum muslimin ketika melawan bangsa Tartar di awal tahun 656 H ketika mereka serang Irak dan Syam. Di Irak saja, mereka membunuh lebih dari satu juta orang dalam tempo 40 hari, artinya satu hari mereka bunuh 25.000 orang. Kerusakan yang mereka timbulkan kian hari kian merajalela, mereka merangsek ke negeri-negeri Islam lainnya dan berhasil memenangkan setiap peperangan melawan kaum muslimin.
Ketika Alloh telah menyaring kaum muslimin dan kaum musliminpun mulai sadar untuk mematuhi Alloh, pasukan Tartar kembali bertempur melawan kaum muslimin di peperangan ‘Ain Jâlût, akhirnya Tartar mengalami kekalahan terburuk walaupun sebelumnya mereka selalu memenangkan setiap peperangan. Pada peperangan Ain Jalut ini bisa ditebak bahwa pasukan Tartar tentu lebih kuat daripada ketika awal mula datang sedangkan kaum muslimin jauh lebih lemah dibandingkan sebelum bangsa Tartar datang ke Baghdad.
Kondisi yang sama terjadi ketika orang-orang Qorômithoh menyerang Irak dan Hijâz di awal abad ketiga hijriyah.
Sebelum itu, di Uhud pun tidak jauh berbeda. Ketika perang Uhud terjadi, kaum muslimin kalah menghadapi orang kafir. Setelah itu pada perang Ahzab mereka lagi-lagi ditimpa kesusahan dan kesempitan serta digoncangkan. Setelah lewat beberapa waktu, barulah mereka berhasil memenangkan peperangan-peperangan setelahnya, puncaknya adalah ketika Fathu Makkah.
Dari pemaparan di atas, menggantungkan jihad dengan pertempuran termasuk hal yang melemahkan moral, dan merupakan penyebab terbesar lemahnya kaum muslimin hari ini.
Sebab, baik dulu maupun sekarang, kita tidak pernah memerangi musuh atas dasar jumlah dan persenjataan yang banyak. Lagi pula, kita tidak mungkin akan mengukur peperangan yang kita lakukan atas ukuran-ukuran material. Yang penting, kalau kita sudah memaksimalkan diri dalam melakukan I‘dâd (persiapan, latihan) tanggungan kita sudah selesai walaupun ketika nanti kita berperang kita mengalami kekalahan.
Jadi, menggantungkan kemenangan Islam dengan peperangan saja akan mengakibatkan sikap apatis dan meninggalkan jihad hanya lantaran kekalahan tersebut. Kita benar-benar harus mengerti bahwa kita tidak pernah berperang atas dasar jumlah dan perlengkapan yang banyak.
Bisa saja suatu ketika nanti kita banyak dan lebih berposisi di atas angin daripada musuh kita, tetapi kita belum memenuhi syarat standar keimanan untuk meraih kemenangan, sehingga Alloh menimpakan kekalahan dalam rangka tamhîsh (penyaringan), supaya jiwa kaum muslimin menjadi lebih suci dan barisan mereka tersaring.
Nah, ketika kita sebuah peperangan kita ukur dengan ukuran materi dan kita menggantungkan harapan kita dengannya, maka ketika perang itu kalah jiwa kita akan menjadi lemah, tekad menjadi kendur dan akhirnya jihadpun ditinggalkan.
Yang benar adalah kita berjihad karena jihad itu ibadah yang wajib dilakukan, tidak peduli apakah kita akan kalah ataukah menang.
Terakhir sebelum mengakhiri pembahasan bagian ini, saya merasa perlu menyampaikan sebuah perkara yang penting, yaitu saya khawatir dari semua penjelasan saya tadi orang memahami bahwa saya menganggap kecil peperangan antara Islam versus kekufuran internasional yang terjadi di Afghanistan. Tidak, sekali kali tidak. Kita lihat saja nanti apa yang terjadi pasca pertempuran. Kalau kita menang berarti kita berhasil membebaskan leher kaum muslimin dari belenggu perbudakan Amerika dan barat. Tapi jika Alloh takdirkan kita kalah, sesungguhnya seorang muslim yang tulus keislamannya di manapun ia berada di dunia ini cita-cita adalah lebih baik mati sebelum semua ini terjadi, lebih baik ia menjadi makhluk yang tak digubris dan dilupakan orang, hal ini mengingat bagaimana nanti kekejaman Amerika yang bakal dialami kaum muslimin di negerinya sendiri. Oleh karena itu, peperangan kita melawan Amerika di Afghanistan adalah peperangan sangat-sangat menentukan. Kita harus mengkonsentrasikan semua peralatan dan kemampuan agar kita bisa memenangkannya dengan izin Alloh Ta‘âlâ.
Yang kami katakan ini tidak ada sangkut pautnya dengan masalah menggantungkan jihad atau arti sebuah kemenangan dengan peperangan. Karena kalau dalam perang ini kita nanti kalah, orang yang ikut dalam pertempuran itu mundur karena pemahaman seperti ini, dan syiar jihadpun akan melemah, perasaan lemah itu bisa terungkap dari perkataan dan perbuatannya, atau ia sembunyikan dalam batinya sendiri. Sesungguhnya Alloh menintahkan kebenaran dan Dia-lah Dzat yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.

Prinsip baku ke-Lima: Kemenangan tidak selalunya berupa kemenangan militer.

Banyak sekali kaum muslimin menyangka bahwa orang yang melakukan ibadah jihad ini pasti akan meraih kemenangan di medan pertempuran yang bisa dilihat mata, mereka menyangka bahwa Alloh mensyariatkan jihad dan pasti di belakangnya nanti Alloh pasti akan memberikan kemenangan yang nampak di mata saja. Hal ini dikarenakan kebanyakan orang memahami makna kemenangan terbatas dengan kemenangan militer dan kemenangan di medan tempur saja.
Padahal Alloh Ta‘âlâ mensyariatkan jihad ini kepada kita dan tidak memberikan jaminan kepada orang yang mengalami suasananya yang mencekam untuk selalu menang, bahkan Alloh menetapkan kekalahan bagi kaum muslimin sekali waktu, seperti dalam firman-Nya:
{إن يمسسكم قرح فقد مس القوم قرح مثله وتلك الأيام نداولها بين الناس}
“jika kalian mendapatkan luka maka musuhpun mendapatkan luka, dan hari-hari itu Kami pergilirkan antar manusia…”
ayat ini turun untuk menegaskan sunnah terjadinya kekalahan yang pasti berjalan. Ayat ini turun untuk menegaskan sunnah kekalahan militer yang dialami kaum muslimin di perang Uhud yang ini berlaku bagi siapa saja.
Seandainya saja manusia mau membuka lebih lebar pemahaman mereka tentang makna kemenangan, mereka akan berkesimpulan bahwa siapa saja yang terjun ke dalam jihad yang merupakan puncak tertinggi dari ajaran Islam ia tidak pernah rugi sedikitpun, bahkan ia selalunya berada dalam posisi menang, apapun kondisinya, walaupun ia terbunuh ataupun tertawan.
Kalau kita memberikan pemahaman yang proporsional mengenai makna kemenangan, yaitu setelah merenungkannya melalui dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah, tentu kita simpulkan bahwa Umat Islam ini tidak akan pernah rugi dengan menjalankan jihad. Tetapi jihad justru sebuah keberuntungan dalam segala kondisinya, walaupun kenyataan di lapangan berbeda dengan yang diharapkan.
TENTANG MAKNA-MAKNA KEMENANGAN:
Baiklah, sejenak kita kaji tentang apa itu makna kemenangan yang tercantum dalam Al-Quran dan sunnah. Walaupun sebenarnya makna kemenangan ini tidak cukup untuk kita ungkap di sini satu persatu, itu memerlukan pembahasan sendiri. Tetapi sebagaimana dalam kaidah ushul fikih, apa yang tidak bisa di bisa dicapai semua tidak bisa ditinggal sebagian besarnya. Oleh karena itu, kami katakan:
Makna kemenangan yang pertama:
Sesungguhnya makna terbesar dari sebuah kemenangan –yang pasti telah dicapai oleh siapa saja yang mau berjihad, baik sendirian atau bersama sama umat— adalah ketika seorang mujahid berhasil mengalahkan nafsunya, syetan yang menggodanya dan mengalahkan delapan perkara yang disukai semua manusia dan kesukaan-kesukaan yang menjadi cabangnya, mengalahkan urusan-urusan duniawi yang menarik dirinya di mana banyak sekali kaum muslimin yang gagal, bahkan bisa dibilang hampir seluruh umat gagal untuk mengalahkan perkara-perkara ini. Alloh menyebutkan kedelapan perkara ini dalam firman-Nya:
{قل إن كان آباؤكم وأبناؤكم وإخوانكم وأزواجكم وعشيرتكم وأموال اقترفتموها وتجارة تخشون كسادها ومساكن ترضونها أحب إليكم من الله ورسوله وجهاد في سبيله فتربصوا حتى يأتي الله بأمره والله لا يهدي القوم الفاسقين}
Maka ketika seorang hamba berhasil meninggalkan delapan perkara ini dan bersedia keluar untuk berjihad, berarti ia telah menang dan berhasil mengalahkan nafsu dan syahwatnya serta perkara-perkara menarik yang membikin orang enggan keluar.

Dengan keberhasilannya mencapai kemenangan ini, ia telah menggapai kemenangan lain yang lebih besar lagi, yaitu ketika ia berhasil keluar dari lingkaran orang-orang fasik, ia telah bebas dari janji dan ancaman Alloh yang tercantum di akhir ayat di atas. Semua kemenangan ini telah ia gapai ketika ia telah buktikan secara nyata bahwa ia lebih mencintai Alloh, rosul dan jihad di jalan-Nya. Sungguh, ini adalah kemenangan sangat besar.
Makna kemenangan kedua:
Jika seorang hamba keluar untuk berangkat berjihad, berarti ia telah mewujudkan kemenangan dalam bentuk yang lain dari kemenangan pertama. Bentuk kemenangan itu kali ini berupa kemenangan atas syetan yang senantiasa mengintai dan berusaha sekuat tenaga dengan berbagai cara untuk menghalanginya dari jihad. Sebagaimana tercantum di dalam Shohîh Bukhôrî dari Abu Huroiroh  bahwasanya Rosululloh SAW bersabda:
(إن الشيطان قعد لابن آدم في طريق الإيمان فقال له أتؤمن وتذر دينك ودين آبائك ؟ فخالفه فآمن، ثم قعد له على طريق الهجرة فقال له أتهاجر وتترك مالك وأهلك ؟ فخالفه فهاجر، ثم قعد له على طريق الجهاد فقال له أتجاهد فتقتل نفسك فتنكح نساؤك ويقسم مالك ؟ فخالفه فجاهد فقتل، فحق على الله أن يدخله الجنة)
“Syetan duduk menghadang anak Adam di atas jalan iman, syetan itu berkata kepadanya: “Apakah kamu mau beriman dan meninggalkan agamamu dan agama ayahmu?” Anak Adam itu tidak memperdulikannya dan terus beriman. Kemudian syetan duduk di jalan hijrah, ia berkata kepadanya: “Apakah kamu mau berhijrah dengan meninggalkan harta dan keluargamu?” ia tidak memperdulikannya dan terus berhijrah. Kemudian syetan duduk di atas jalan jihad, ia berkata kepadanya: “Apakah kamu mau berjihad? Nanti kamu terbunuh dan isterimu akan dinikahi orang lain, hartamu akan dibagi-bagikan kepada orang lain.” Ia kembali tidak memperdulikannya dan terus berjihad hingga terbunuh. Siapa yang seperti ini keadaannya, menjadi hak Alloh untuk memasukkannya ke dalam surga.”
Jadi, hanya dengan jihadlah kemenangan atas syetan itu tercapai dan seorang hamba bisa menggapai surga Alloh Yang Mahapengasih.
Makna kemenangan ketiga:
Jika seorang hamba keluar untuk berjihad, ia telah mencapai kemenangan dan termasuk orang-orang yang disebut Alloh dalam firman-Nya:
(والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وإن الله لمع المحسنين)
“Dan orang-orang yang berjihad di (jalan) Kami, pasti akan Kami tunjukan kepadanya jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang berbuat kebaikan.”
Sungguh, alangkah besar kemenangan itu, yaitu ketika seorang hamba berada di bawah naungan hidayah Alloh SWT. Kemenangan terbesar melawan syetan adalah hidayah, sedangkan anugerah Alloh SWT terbesar adalah taufik dari-Nya untuk bisa menggapai hidayah itu dan berubah status menjadi orang-orang yang berbuat ihsân (muhsinin) di mana kebersamaan Alloh selalu menyertai mereka, khusunya kebersamaan Alloh berupa kemenangan, taufik, hidayah dan keshalehan.
Seandainya saja umat ini berjihad semua, seandainya mereka semua mau ikut serta dalam jihad dengan sungguh-sungguh, tentu umat ini akan menjadi umat yang mendapat petunjuk dan selalu disertai kebersamaan Alloh seperti yang terjadi di zaman shahabat dan tabi‘ìn, umat yang mendapatkan taufik, umat yang menang dan senantiasa ditolong Alloh.
Makna kemenangan ke-empat:
Ketika seorang telah berhasil keluar untuk berjihad, berarti ia telah menang atas orang-orang yang menghalanginya yang mana mereka ini berasal dari saudara sekulit dan sebahasanya sendiri, bahkan di antara mereka ada yang menggunakan nash-nash syar‘i untuk melegitimasi sikap menghalangi mereka terhadap umat dari jihad. Alloh Ta‘âlâ telah hinakan mereka dalam firman-Nya:
{لو خرجوا فيكم ما زادوكم إلا خبالاً ولأوضعوا خلالكم يبغونكم الفتنة وفيكم سماعون لهم والله عليم بالظالمين}
“Kalaulah mereka keluar bersama kalian, mereka tidak akan menambahkan apapun bagi kalian selain kekacauan, mereka mencari-cari fitnah di dalam tubuh kalian dan di antara kalian ada yang suka mendengarkan mereka. Dan Alloh Mahamengetahui akan orang-orang dzalim.”
Alloh berbicara dengan ayat ini kepada para shahabat Rosululloh SAW bahwa di antara mereka ada yang suka mendengarkan kata orang-orang yang menghalang-halangi dari jihad. Ini bukan karena iman para shahabat itu lemah, tapi karena orang-orang yang menghalangi dari jihad itu memiliki kedudukan di tengah kelompoknya tapi mereka menyembunyikan isi batinnya. Saking besarnya fitnah yang ditimbulkan orang-orang yang menghalangi ini, dan saking dahsyatnya mereka mengkaburkan antara yang hak dan batil serta meyakinkan syubhat mereka, sampai-sampai orang berimanpun terpedaya dengan kata-kata mereka. Itu sebabnya Alloh mengingatkan manusia terbaik setelah para nabi (para shahabat) agar mewaspadai orang-orang seperti ini.
Di antara orang-orang yang menghalangi jihad adalah yang tercantum dalam firman Alloh:
{فرح المخلفون بمقعدهم خلاف رسول الله وكرهوا أن يجاهدوا بأموالهم وأنفسهم في سبيل الله وقالوا لا تنفروا في الحر قل نار جهنم أشد حراً لو كان يفقهون}
“Orang-orang yang tidak ikut berjihad itu merasa senang dengan kedudukan mereka di belakang Rosululloh dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Alloh serta mengatakan: “Janganlah kalian berperang dalam terik panas.” Katakanlah (Hai Muhammad): “Neraka Jahannam itu jauh lebih panas,” kalau mereka mengetahui.”
Jadi, orang-orang yang menghalangi dari jihad ini menggunakan semua pasukannya, baik yang berkuda atau yang berjalan kaki, dan menggunakan semua kekuatan yang mereka miliki dalam rangka menghalangi seorang hamba dari jihadk. Selanjutnya, mereka melarang umat untuk berjalan di atas jalan kemuliaan dan harga diri.
Maka ketika seorang mujahid keluar untuk berjihad, berarti ia telah merealisasikan kemenangan atas orang-orang yang tidak mau ikut dan menghalangi dari jihad.
Jadi setelah ia menang atas nafsu, syahwat dan dunianya, ia menang atas syetannya, selanjutnya ia menang atas orang-orang yang suka mempengaruhi orang lain agar lemah semangatnya dari kalangan saudara sekulit dan sebahasanya sendiri.

Makna kemenangan kelima:
Sesungguhnya ketika seorang mujahid teguh di atas jalan dan prinsip jihad, apapun yang menimpa dirinya baik kepayahan dan kegoncangan dan komentar-komentar yang melemahkannya, pada dasarnya ini sudah merupakan satu kemenangan. Alloh Ta‘âla berfirman:
{يثبت الله الذين آمنوا بالقول الثابت في الحياة الدنيا وفي الآخرة ويضل الله الظالمين ويفعل الله ما يشاء}
“Alloh meneguhkan orang-orang beriman dengan perkataan yang kokoh ketika di dunia maupun di akhirat. Dan Alloh menyesatkan orang-orang dzalim dan Alloh mengerjakan apa yang Dia kehendaki.”
Maka bukankah orang yang tetap teguh di atas jalan jihad dan terus melaksanakannya serta menjadi orang-orang yang diteguhkan seperti dalam ayat ini sudah cukup untuk disebut sebagai orang yang mendapatkan kemenangan?
Benar demi Alloh.
Betapa banyak orang yang sudah berjihad dan mendapatkan kemenangan di medan pertempuran, akan tetapi prinsip-prinsip yang ia pegang mengendur, kemantaban akidahnya bergeser, ia hanya memperhatikan urusan syahwat dan dunianya dengan hasil yang ia peroleh dari medan jihad.
Betapa banyak kita lihat orang yang mengalami kesengsaraan dan kegoncangan melebihi orang yang sekarang masih terus berjalan di atas jalan jihad, mereka memang pantang mundur ketika di medan tempur, tetapi dunia telah mengalahkan prinsip yang ia pegang dan kemantaban akidahnya. Ia terpalingkan oleh pengaruh-pengaruh yang rusak sehingga merubah dirinya menjadi orang yang condong kepada dunia. Dengan kekalahan prinsipnya ini, ia beralasan dengan seribu alasan. Nah, bukankah ini sebenarnya yang disebut kekalahan, dan bukankah keteguhan di atas jalan jihad adalah kemenangan hakiki?
Makna kemenangan ke-enam:
Ada kemenangan dalam bentuk lain yang dicapai seorang hamba ketika ia keluar untuk pergi berjihad, yaitu ketika ia korbankan jiwa, waktu dan hartanya dalam rangka mempertahankan prinsip-prinsip yang ia pegang, dalam rangka membela keyakinan dan agamanya.
Karena berkorban demi agama pada dasarnya adalah kemenangan itu sendiri, entah kemenangan (militer) berada di fihaknya ataukah di fihak musuhnya. Ia dikatakan menang karena ia menjadi tinggi dengan prinsip yang ia pegang teguh, ia rela berperang demi membela prinsip tersebut, ia rela mengorbankan nyawanya dengan murah demi menebusnya, itulah kemenangan hakiki walaupun ia menelan kekalahan di medan pertempuran. Alloh Ta‘âlâ berfirman kepada Rosul-Nya SAW dan para shahabatnya ketika mereka kalah di medan Uhud:
{ولا تهنوا ولا تحزنوا وأنتم الأعلون}
“...dan janganlah kamu merasa hina dan sedih sedangkan kalian adalah lebih tinggi...”
70 orang kaum muslimin terbunuh, mereka dicincang-cincang, Rosululloh SAW sendiri terluka, sebagian lain lari walau kemudian Alloh ampuni mereka, tetapi semua ini tidak sedikitpun mengubah hakikat bahwa kaum musliminlah yang lebih mulia.
Jadi, kemuliaan atau ketinggian seorang mujahid adalah manakala ia terjun ke medan pertempuran dan mengikuti peperangan Islam, inilah sebenarnya kemuliaan dirinya. Ia telah menang atas musuhnya dengan kemuliaan tersebut.
Ketika ia melihat kaumnya yang bersenjatakan apa adanya, sudah begitu merekapun miskin dan tidak punya apa-apa selain iman, lantas atas dasar apakah umat ini berjihad melawan musuhnya padahal jumlah pasukan dan perlengkapannya jauh lebih kecil? Untuk tujuan apakah umat ini berjihad melawan musuhnya padahal kalau diukur dengan materi pasti mereka kalah? Bukankah umat ini tidak punya persenjataan yang seimbang dengan musuhnya? Tetapi umat ini terus melawan setelah melakukan persiapan semampunya, bukankah ketika umat seperti ini hanya sekedar berani melawan saja sudah cukup untuk disebut sebagai umat yang menang?
Sesungguhnya umat yang berbekal iman dalam melawan musuhnya yang dilengkapi dengan berbagai peralatan dan senjata canggih adalah umat yang menang dengan kemuliaan dan prinsip yang ia pegang.
Ketika orang yang kondisinya apa adanya seperti ini berani menghadapi persekutuan negara-negara di dunia dengan perlengkapan dan persenjataannya yang bertekhnologi canggih sudah cukup disebut sebagai kemenangan, di mana dalam peperangan itu ia persembahkan nyawanya dengan murah demi membela keyakinannya?
Benar, demi Alloh. Sungguh sejarah menuliskan tintanya hanya untuk sejarah kehidupan para pahlawan walaupun kesyahidan menjadi ujung kehidupannya. Adapun orang-orang yang kebanyakan cenderung kepada dunia dan rela hidup di dalam kehinaan, maka sejarah tidak akan pernah sudi menulisnya, bahkan sejarah akan membencinya.
Dan alangkah jauh perbedaan antara keduanya di sisi Alloh robbul Alamîn.
Keteguhan seorang di atas jalan jihad dan di atas akidah serta prinsip yang ia rela berperang untuknya, menimbulkan kemenangan prinsip dan akidah kepada dua kelompok:
Kelompok pertama:Kelompok yang memenangkan prinsipnya atas orang-orang yang berprinsip sesat, orang-orang ahli bid‘ah dan khurofat serta faham filsafat yang berusaha mentakwil takwilkan nash dalam rangka memalingkan orang yang berjihad dari prinsip yang ia pegang. Maka kalau seorang mujahid tetap teguh, terus berperang demi membela prinsipnya itu dan tidak memperdulikan syubhat-syubhat yang dilontarkan orang-orang sesat tadi, maka berarti ia telah merealisasikan kemenangan atas mereka.
Kelompok kedua: Ia menang dengan prinsipnya atas prinsip orang kafir, orang zindiq, orang murtad dan orang menyimpang.
Ketika ia menyatakan dengan terus terang bahwa ia sangat merindukan kematian di atas jalan yang ia yakini, dan ia menyatakan bahwa kematian sama sekali tidak mempengaruhi maju mundurnya sedikitpun, maka itu sudah termasuk kemenangan tersendiri.
Gambaran kemenangan ini dicontohkan oleh tukang sihir Fir‘aun ketika mereka diancam akan dibunuh dan disalib setelah mereka menyatakan keimanannya secara terang-terangan, firaun berkata:

(.. فلأقطعن أيديكم وأرجلكم من خلاف ولأصلبنكم في جذوع النخل ولتعلمن أينا أشد عذاباً وأبقى)
“Benar-benar akan kupotong tangan dan kaki kalian secara bersilang dan sungguh akan kusalib kalian di pokok pohon kurma, dan kalian akan tahu siapa di antara kita yang lebih dahsyat dan lama siksaannya.”
Maka para tukang sihir itu menjawab dengan penuh harga diri sebagai seorang mukmin:

{قالوا لن نؤثرك على ما جاءنا من البينات والذي فطرنا فاقض ما أنت قاض إنما تقضي هذه الحياة الدنيا}
“Mereka berkata: Kami tidak akan mengutamakan kamu di atas keterangan yang datang kepada kami dan Dzat yang menciptakan kami, maka putuskanlah sesukamu, sesungguhnya kamu hanyalah memutuskan di dunia ini.”
Dalam jawaban lain, para tukang sihir itu mengatakan:
{وما تنقم منا إلا أن آمنا بآيات ربنا لما جاءتنا ربنا أفرغ علينا صبراً وتوفنا مسلمين}
“Dan tidaklah kamu menyiksa kami kecuali karena kami beriman kepada ayat-ayat robb kami ketika itu datang kepada kami.” Wahai robb kami, limpahkanlah kesabaran ke atas kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan muslim.”
Allohu Akbar! Alloh Mahabesar, demi Alloh inilah kemenangan besar itu, yaitu teguh di atas prinsip hingga mati!
Kemenangan seperti ini juga dicontohkan dalam kisah Khubaib bin Adi ra ketika beliau disalib di tengah-tengah orang kafir Quraisy. Saat itu, antara dirinya dan kematian hanya berjarak beberapa saat saja, seperti diriwayatkan Abul Aswad dari Urwah ia berkata: “Maka setelah mereka meletakkan senjata (selesai menyiksa) dan Khubaib masih di atas kayu salib, mereka membujuknya dengan mengatakan: “Apakah kamu suka kalau posisimu sekarang digantikan oleh Muhammad?” Khubaib menjawab: “Tidak, Demi Alloh yang Mahaagung, aku tidak rela walau beliau hanya tertusuk duri demi menebusku.”
Allohu Akbar! Alangkah besar kemenangan dan kemuliaan Khubaib ini.
Padahal betapa banyak umat yang dibinasakan dan dihancurkan tetapi oleh Alloh tidak diabadikan ceritanya seperti cerita mereka yang Alloh sebut telah mencapai kemenangan besar.
Dulu, orang-orang kafir memberikan dua pilihan kepada ashhâbul Ukhdûd, berbalik kafir atau tetap memegang prinsip tapi dibunuh dengan dibakar api. Ternyata api dunia tidak mampu mengundurkan mereka dari prinsip yang mereka pegang. Mereka lebih memilih selamat dari api neraka di akhirat walau harus mereka bayar dengan memasuki api dunia. Maka merekapun terjun satu persatu ke dalam api, persis seperti belalang yang meloncat dengan penuh kemantaban dan perasaan rela berkorban, mereka tidak ditakutkan oleh pemandangan api yang begitu hebat. Tetapi mereka memasukinya demi meraih kemenangan. Dan ketika ada seorang wanita yang tampak ragu, ia pun tampak mulai fikir-fikir dan pemahaman tentang kemenangan hakiki hilang dari benaknya, Alloh menjadikan bayi yang ia susui bisa berbicara untuk menerangkan makna kemenangan hakiki dan keberuntungan yang besar, bayi itu berkata –sebagaimana tercantum dalam hadits riwayat Muslim—: “Ibu, bersabarlah, sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran.” Akhirnya sang ibupun terjun ke dalam api bersama bayi yang ia susui.
Tetapi Alloh abadikan kisah mereka, Alloh memuji mereka dengan pujian yang belum pernah Dia berikan kepada selain mereka yang hidup di kemudian hari, Alloh berfirman:
(إن الذين آمنوا وعملوا الصالحات لهم جنات تجري من تحتها الأنهار ذلك الفوز الكبير)
“Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal sholeh itu bagi mereka surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, itulah kemenangan yang sangat besar.”
Maka, bagi setiap mukmin yang kehilangan makna kemenangan hakiki seperti wanita tadi, ayat ini, pujian ini dan kesaksian ini menerangkan kepadanya makna kemenangan yang hilang dari benaknya.
Wallahu'alam bishowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar